Ya, usai dihelatnya gelaran teater “Djembatan Gondolaju” oleh Teater Gadjah Mada pada hari Rabu 17 Juli 2019, masih di tempat yang sama; Pendhapa Art Space, sehari kemudian (Kamis 18 Juli 2019) Festival Kebudayaan Yogyakarta kembali menggelar acara bertajuk “Micara” yang sukses menghadirkan lebih dari 150 penonton yang didominasi para kawula muda. Dan Band Letto yang beranggotakan Noe (vokalis), Patub, Cornel (keduanya gitaris), Arian (basis), Dhedot (drummer), dan Widi (keyboardist) tersebut menjadi magnet yang menggerakkan penonton untuk hadir dan menyaksikan pertunjukan yang menyajikan sembilan buah lagu dalam suasana temaram.
Kembali lagi, “micara” sebagai tajuk helatan ini adalah kata bahasa Jawa yang memiliki padanan kata ‘berbicara’. Karenanya, seturut dengan judul acara, Letto tidak hanya menghibur penonton dengan lagu-lagu berlirik magis- romantisnya. Lebih dari itu, Letto justru berkolaborasi dengan para penggamel, sekaligus mengajak para penonton meninjau kembali perjalanan hidup manusia melalui lagu-lagunya yang sengaja diurutkan untuk membawakan pesan tersebut.
“Semua manusia lahir dengan berkah dari Tuhan, tapi dalam perjalanan hidupnya, ia juga mencari pengisi lubang dalam hatinya. Lubang itu ialah cinta, cita, dan cipta,” kata Noe sebagai prolog menuju lagu pertama yang berjudul Lubang di Hati.
Bersama dengan lagu kedua, Sampai Nanti Sampai Mati, Letto mengajak penonton untuk tetap bersemangat melanjutkan hidup. Noe menambahkan, dalam hidup tidak ada halangan, yang ada hanya tantangan. Kata-kata tersebut mengundang tepuk tangan penonton yang merasa tersentuh dan termotivasi.
Letto yang diwakili Noe membawa pada inti Micara, yaitu mengenai keadaan wungu manusia. Wungu diartikan sebagai keadaan ‘bangun’ atau spiritually awaken. Untuk mencapai keadaan tersebut, manusia harus melepaskan lima selubung yang membungkus dirinya, yaitu annamaya kosa (tubuh jasmaniah), pranamaya kosa (lapisan nafas), manomaya kosa (alam pikir, emosi, dan mental), vijnanamaya kosa (pengetahuan sejati atau kebijaksanaan), dan anandamaya kosa (kesadaran kosmos).
Untuk membawakan materi-materi tersebut, Letto menggunakan lagu-lagunya untuk membantu penonton agar mengerti. Misalnya, pada bagian pranamaya kosa, Letto membawakan lagu Sandaran Hati dengan liriknya: “Aku dan nafasku merindukanmu”. Juga ketika berbicara tentang kebijaksanaan dalam lapis vijnanamaya kosa, Letto mendampinginya dengan lagu Cinta Bersabarlah.
Acara ini diselingi dengan dolanan anak, yaitu dolanan jamuran. Letto dan para penggamel mengajak penonton untuk mengikuti permainan ini. Permainan yang bertujuan untuk berkenalan dengan teman sepermainan tersebut mengharuskan peserta membentuk jamur yang disebutkan dengan tubuhnya atau memanfaatkan benda-benda di sekitarnya. Permainan ini kembali mengundang tawa para penonton karena para pemain membentuk bentuk-bentuk unik ketika diminta membuat bentuk jamur tertentu.
Micara ditutup dengan dua lagu, yaitu Ruang Rindu dan Sebelum Cahaya. Lagu Ruang Rindu membawa pesan agar kita mengisi kenangan dengan hal-hal yang bisa dirindukan, entah itu perbuatan baik atau impian yang terwujud. Suasana magis nan temaram menutup acara Micara bersama dengan lagu Sebelum Cahaya.
“Pada akhirnya, jati diri manusia tidak dicari, tapi disadari, dan yang tersisa hanya cahaya, yaitu harapan agar dapat mencapai wungu,” ujar Noe yang kemudian disambut alunan siter dan tembang doa, lalu disambung dengan lagu penutup. []
Source: Official Doc FKY