Tahun 2019 yang merupakan edisi kelima Biennale Jogja EQUATOR #5 bekerja pada wilayah Asia Tenggara yang bakal menghadirkan sebanyak 52 seniman dan kelompok. Mereka semua yang terlibat di pameran ini berasal dari berbagai wilayah dan kota dari seluruh Asia Tenggara.
Pada helatan Biennale Jogja EQUATOR ke-5 di tahun 2019 ini diusung tajuk ‘Do we live in the same PLAYGROUND?’ sebagai hasil rangkuman dari pembacaan YBY (Yayasanย Biennale Yogyakarta) dan seniman-seniman yang terlibat di dalam perhelatan tersebut atas segelintir persoalan โpinggiranโ yang berlangsung di kawasan Asia Tenggara. Rangkuman dari pembacaan tersebut utamanya adalah hal yang beririsan dengan masalah identitas, baik itu berujud gender, berupa ras, dan juga ikhwal agama. Selain itu ada pula irisan perihal narasi kecil, konflik sosial-politik, perburuhan, lingkungan, atau yang lebih spesifik, praktik kesenian.
Guna meramaikan pembukaan pesta seni-rupa dua-tahunan ini, dihadirkan pula penampil seperti ‘Amuba’, ‘Voice of Baceprot’, dan tak ketinggalan ‘Pisitakun’, ‘The Beast Kids’, dan ‘Raja Kirik’.
Selain itu, dihadirkan pula satu soundtrack video yang juga menjadi bagian dari media-publikasi, yang itu digarap langsung oleh ‘Project Babi’, ialah para perupa (seniman senirupa) yang justru juga menggarap proyek musik. Nama-nama dalam Proyek Babi tersebut antara lain adalah Prihatmoko Moki, Soni Irawan, dan Agus Suryanto.
Pembukaan gelaran Biennale Jogja EQUATOR #5 tahun 2019 rencananya akan dilakukan langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X pada tanggal 20 Oktober 2019.
Kemudian masih dalam rangkaian pembukaan dari helatan Biennale Jogja EQUATOR #5 tahun 2019 tersebut bakal dimeriahkan pula dengan penampilan tiga perempuan muda pengena hijab yang penuh talenta. Ialah Voice of Baceprot yang bakal manggung sebagai penampil utama pada malam pembukaan. Ia sekaligus diposisikan juga sebagai representasi dari tema pinggiran yang diangkat pada helatan Biennale Jogja tahun 2019 ini.
Bukan tanpa alasan Voice of Baceprotย ini dihadirkan sebagai penampil utama pada malam pembukaan Biennale Jogja Equator ke-5 ini. Tak lain adalah karena mereka merupakan remaja-remaja perempuan yang juga dikenal beridentitas pengguna hijab, akan tetapi mereka tetap berani memainkan musik heavy metal. Ini bisa saja dikatakan bahwa mereka ini menjadi simbol resistensi melawan Kaum Muslim konservatif di kotanya.
Sementara ditampilkannya “Amuba” menjadi gambaran dari gerakan kelompok queer, yang menunjukkan pernyataan bagaimana praktik seni memberi dukungan kepada kelompok-kelompok terpinggir. Selanjutnya dua seniman partisipan, yaitu Pisitakun Kuantalaeng dan Yennu Ariendra memanggungkan projek mereka yang diinspirasi oleh sejarah dan tradisi di masyarakat etnis. Yenu performs with collaborative project with J Moong Pribadi, Raja Kirik.
Mengenai lokasi dihelatnya pameran senirupa Biennale Jogja tahun 2019 ini ada di beberapa tempat, di mana pada setiap tempat itu akan dibagi sesuai asal penampil. Sebagai contoh untuk di PKKH UGM akan dipamerkan karya senirupa dari Timor Leste dan juga dari Hongkong, dan lain sebagainya. Dan beberapa tempat dihelatnya pameran Biennale Jogja tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
Mengenai gelaran Biennale Jogja Equator #5 ini, baik perihal pembukaan pun selama 40 hari digelarnya pameran, semuanya diperuntukkan secara terbuka bagi umum, segala usia, dan segala kalangan. Gratis tanpa dipungut bayaran!
Sementara mengenai waktu dilaksanakan pameran, terutama di main-venue, secara umum bakal dimulai pada pukul 10:00 dan akan berakhir hingga pukul 21:00 WIB. [uth]