Seiring helatan Biennale Jogja XVI Equator #6 tahun 2021 kali ini panitia penyelenggara membaca sejarah Oseania dalam rangka mengenali kembali identitas Indonesia yang dibayangkan sebagai melting pot ataupun titik temu dari berbagai etnis, ras, dan kebudayaan.
Pada acara konferensi pers terkait penyelenggaran Biennale Jogja XVI 2021 yang dilaksanakan secara daring pada hari Jumat tanggal 1 Oktober 2021, Alia Swastika selaku Direktur Yayasan Biennale Jogja memaparkan bahwa Oseania menjadi ruang kontestasi identitas menarik bagi komunitas-komunitas yang tinggal bersama, untuk menyaksikan pergeseran sejarah dan kemudian menuliskan ulang sejarah mereka sendiri dalam pusaran politik lokal, (pasca) kolonial dan pergaulan global.
Alia juga menyatakan bahwa Biennale Jogja tahun 2021 ini menjadi istimewa karena ia menjadi tanda satu dekade diselenggarakannya Biennale Jogja seri Khatulistiwa, yaitu yang dimulai sejak tahun 2011 silam. Sehubungan dengan hal itu maka diselenggarakan pula pameran arsip yang menampilkan kembali serpihan artefak dan catatan tentang bagaimana Yayasan Biennale Yogyakarta tumbuh dan berkembang dalam ekosistem seni di Yogyakarta dan di kawasan Global Selatan.
Alia Swastika menambahkan bahwa terdapat pula hal menarik dari penyelenggaraan Biennale Jogja tahun 2021, yaitu tentang presentasi beberapa karya dari seniman di India hingga Brazil yang disajikan secara online melalui permainan minecraft.
โMenariknya, karya-karya seniman dari India hingga Brazil ini akan disajikan secara virtual melalui permainan minecraft. Hal ini menunjukkan bagaimana kami merespons relasi antara seni, pengetahuan, dan teknologi digital sebagai bagian dari spekulasi sejarah,โ tutur Alia.
Agenda Biennale Jogja XVI tahun 2021 kali ini diselenggarakan selama lebih dari satu bulan, yaitu berlangsung dari tanggal 6 Oktober hingga 14 November 2021, di mana seluruh rangkaian pameran dan program akan diselenggarakan di empat lokasi, yaitu:
Dalam penyelenggaraannya, Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 ini melibatkan tak kurang dari 34 seniman dan komunitas, yang beberapa di antaranya merupakan ruang dedikasi untuk seniman dan tokoh budaya; Y.B. Mangunwijaya dan Sriwati Masmundari.
Pada program aktivasi dalam Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 kali ini ada sekitar 70 agenda, di antaranya adalah Biennale Forum, Program Labuhan, Residensi, dan Resource Room. Selain itu, ada pula Bilik Negara Korea/ASEAN serta Taiwan yang mengundang para seniman dari dua wilayah tersebut.
Sementara untuk presentasinya, terutama pada program pameran dan sebagian besar program lain dapat disaksikan secara virtual, yaitu melalui portal online di situs web https://biennalejogja.org/2021 dan juga beberapa akun media sosial Biennale Jogja, di antaranya adalah di akun instagram, twitter, serta facebook. Langkah ini diambil dengan alasan masih mewabahnya virus corona, sehingga kondisi pandemi ini membuat kita masih harus membatasi kerumunan. Hal ini sebagaimana dituturkan oleh Gintani Nur Apresia Swastika sebagai Direktur Biennale Jogja XVI Equator #6 2021.
โJika sebelumnya berbagai program publik dapat melibatkan ratusan pengunjung, sekarang tidak bisa lagi karena kondisi pandemi,โ ujar Gintani.
Pameran utama dari gelaran Biennale Jogja tahun 2021 kali ini diselenggarakan di Jogja National Museum dengan mengangkat tema Roots < > Routes yang berangkat dari hasil riset dua kurator; Elia Nurvista dan Ayos Purwoaji.
Beberapa seniman partisipan dalam pameran Roots < > Routes ini antara lain adalah Udeido Collective, Greg Semu, A Pond Is The Reverse of an Island, Radio Isolasido, juga Meta Enjelita dan Raden Kukuh Hermadi –yang merupakan dua seniman muda lulusan program Asana Bina Seni.
Sebagai kuurator, baik Elia Nurvista maupunn Ayos Purwoaji telah melakukan perjalanan riset di kepulauan Indonesia bagian timur yang memiliki corak budaya identik dengan kawasan Oseania. Masing-masing dari mereka melakukan penelitian di Ambon, Maluku, Papua, Maumere serta Kupang. Berangkat dari hasil pengamatan kurator tersebut, maka Biennale Jogja XVI menaruh perhatian besar pada narasi-narasi mengenai lokalitas dan pengetahuan tempatan, serta dekolonisasi dan desentralisasi.
Masih terkait kepulauan Indonesia bagian timur, Biennale Jogja XVI juga melakukan kerja sama dengan empat institusi dan kolektif seni, baik di Jayapura, Ambon, Kupang, dan Maumere, untuk kemudian membuat Program Labuhan (Docking Program) sebagai perwujudan dari gagasan desentralisasi yang diusung.
Dari diselenggarakannya Biennale Jogja XVI kali ini kedua kurator menuturkan hal senada, yaitu tentang harapannya agar helatan Biennale Jogja ini bisa menjadi ruang dialog antara seniman dan intelektual dari Indonesia dengan seniman dan intelektual dari Oseania. Selanjutnya, baik para seniman dan intelektual dari Indonesia, ataupun para seniman dan intelektual dari Oseania,ย dapat sama-sama belajar dari pengalaman masing-masing sebagai masyarakat bekas terjajah yang keberadaannya sudah terlalu lama didefinisikan oleh kuasa pengetahuan barat. []