“Detik Kedua Puluh Enam Minggu Dini Hari” yang ditampilkan di kompleks Art Center Padepokan Seni Bagong Kussudiardja tersebut digagas oleh Habib atas pengamatannya pada tingkah-laku beberapa anak muda di Jogja yang acapkali membuat keonaran bernama “klitih”.
Persembahan karya teater berjudul “Detik Kedua Puluh Enam Minggu Dini Hari” ini sejatinya menjadi bagian dari investasi panjang yang dilakukan Padepokan Seni Bagong Kussudiardja bersama Bakti Budaya Djarum Foundation dalam langkah nyatanya untuk memberi dukungan fasilitasi ruang presentasi karya seniman muda melalui program Jagongan Wagen. Dan Habiburrachman yang dihadirkan pada edisi terakhir Jagongan Wagen tahun 2019 adalah salah satu seniman muda sebagai penerima Hibah Seni PSBK yang berhak memperoleh fasilitasi akses studio penciptaan, kuratorial dan produksi pementasan berlangsung di kompleks art center PSBK sejak akhir November 2019.
Habiburrachman adalah pria yang terlahir di Sumenep, Madura dan aktif berkegiatan di seni pertunjukan teater sejak 2013, yaitu saat bergabung dengan Teater ESKA Yogyakarta. Ia pun beberapa kali terlibat sebagai aktor, mennjadi penulis naskah, dan juga berlaku sebagai sosok sutradara. Beberapa karya terbarunya dipresentasikan pada tahun 2018, yaitu Pelajaran Bab Dua, Penghujung Kau dan Aku, dan Kelas Tambahan. Ia saat ini masih dalam proses sedang menyelesaikan tugas akhirnya di jurusan Akidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sebagaimana terpaparkan di atas tadi, Teater dengan judul “Detik Kedua Puluh Enam Minggu Dini Hari” ini dihadirkan sebagai upaya Habiburrachman untuk melihat Jogja melalui klitih.
Melalui pertunjukan teaternya kali ini, Habib memiliki keinginan untuk berbagi sudut pandang lebih luas dengan mengangkat sejarah pembentukan subjektivitas pelaku dalam relasinya dengan konteks sosio-kultural yang khas. Bahwa klitih tidak lahir dari ruang buta, tetapi dibentuk oleh sistem pendidikan, sistem pranata sosial, konsep moralitas, maskulinitas, dan premanisme yang menjamur. Karya ini juga ingin mengajak berpartisipasi untuk tidak segera menempelkan stigma negatif dalam melihat klitih dengan tidak melepaskannya dari kondisi partikular yang menentukannya.
Jogja adalah salah satu kota dengan beragam dinamika sosialnya yang memungkinkan untuk dibaca berulang demi keberlangsungannya: apakah ia akan bertahan atau binasa. Kemunculan kota beserta dinamikanya adalah bagian tak terpisahkan dari relasi sosial warga kota itu sendiri. Sebuah kota bisa dikatakan maju, berkembang, atau bahkan terpinggirkan, tidak akan terlepas dari aktivitas warganya. Namun kesadaran warga menggali pengetahuan tentang ke-berkota-annya tidak mudah untuk dibangun. Seringkali, masyarakat berhenti pada pemahaman kota sebagai tempat geografis semata. Sedang segala persolannnya dianggap selesai dengan para birokrat dan teknokrat. Lantas, apakah benar situasi sosial kota yang terpresentasi pada perilaku warganya akan selesai dengan pendekatan teknokratisme? Pertunjukan ini nantinya akan mencoba mengelaborasikan problematika ini.
Dalam membangun narasi dalam cerita ini Habib melakukan studi literatur dan obvervasi melalui beberapa wawancara. Kemudian ia menyusun data yang ia peroleh menjadi satu cerita untuk bisa ia sampaikan kepada penonton. Ia mengajak dua aktor yaitu Ario Mahardika dan Faried Nor Siregar a.k.a Askal untuk menghidupkan narasi ke panggung pertunjukan. Selain itu, Ia juga menggandeng Febrian Adinata Hasibuan untuk membantunya menyusun tangga dramatug agar alur cerita terjaga dengan baik. Terakhir, untuk membangun imajinasi melalui bunyi, Regina Gandes diajak untuk mengisi ilustrasi musik dan bebunyian lainnya. Dengan demikian pertunjukan ini akan membukakan pandangan kita terkait dinamika sosial yang terjadi di kota Yogyakarta melalui klitih. Jadi, kami mengajak masyarakat luas untuk hadir dan menyaksikan Jagongan Wagen edisi pamungkas di tahun ini sebagai sarana kita melihat lebih jauh. []