Para penikmat seni teater disuguhi satu karya dari Nasjah Djamin dengan lakon dengan naskah drama klasik yang belum pernah dipentaskan di Yogyakarta bertajuk “Djembatan Gondolaju”. Naskah yang sejatinya telah ditulis bertahun-tahun silam, pada sajian ini tersaji dengan kebaruan, si antaranya para penonton juga diajak mengamati hasil kompilasi dua sutradara dari generasi dan aliran seni yang cukup kontras, yaitu sutradara senior Suharjoso SK sekaligus sutradara anyar Agnes Christina.
Dua jam merupakan durasi yang oleh dibilang lama, sebagaimana sajian dalam program Teater FKY2019 ini. Namun kenyataannya, tak banyak yang meninggalkan sajian teater itu meski waktu telah berlangsung separuhnya. Kisah yang tersaji adalah mengenai orang-orang dengan niat bunuh diri di Jembatan Gondolayu, namun mengalami kegagalan sebab bertemu dengan orang-orang yang mengajak mereka bicara. Kolaborasi yang tersaji antara pemain Teater Gadjah Mada masa kini dengan para pemain senior kenyataannya berhasil memukau penonton. Pun dengan kostum dan make up vintage sekaligus musik keroncong, kenyataannya juga turut membantu untuk membawa pada masa ketika naskah ini ditulis, yaitu sekira tahun 50-an.
“Dari sekian banyak naskah, Djembatan Gondolaju dipilih karena langka. Selain itu, naskah ini ditulis tahun 1957 ketika milestones Yogyakarta dimulai. Naskah ini juga menggambarkan lanskap dan sejarah kota. Kita bisa belajar tentang itu melalui sebuah naskah drama,” ujar Irfanuddien Ghozali selaku kurator pementasan.
“Pak Yos kami hadapkan dengan para pemain muda dan Agnes dipasangkan dengan pemain senior agar bisa saling belajar. Para pemain muda dapat mempelajari metode teater tahun 70-an, dan Agnes bisa mendapatkan paparan dari pemain senior. Perwakilan sutradara masa kini dipilih perempuan karena pada masanya Pak Yos pun belum ada sutradara teater perempuan,” Irfanuddien masih menambahkan.
Pada metode penggarapan teater yang bisa dikatakan cukup baru ini, sang sutradara muda non-konvensional; Agnes Christina memaparkan bahwa dalam pementasan kali ini, ia mempersembahkan hasil pembacaannya terhadap naskah klasik tersebut.
“Saya lebih mengompromikan apa yang Pak Yos hadirkan dan menggunakan sumber yang sudah dipilih beliau. Misalnya, untuk musik. Beliau memilih musik keroncong, ya saya tinggal menyesuaikan meminta pemusik memainkan lagu yang pada bagian saya perlu dinyanyikan,” kata Agnes Christina di sela-sela persiapan pementasan.
Masih bagi Agnes Christina, pertemuan dua sutradara dari masa dan aliran teater yang berbeda ini justru mampu menghasilkan tantangan tersendiri. Artinya, meskipun dirinya juga melihat proses pembacaan (reading) para pemain yang berlatih bersama Suharjoso, akan tetapi dirinya juga harus tetap mengutak-atik adegan agar saling berkorelasi menjadi satu bagian dalam drama.
Begitupun dengan tantangan yang dirasa dan dihadapi oleh Harizka Tarigan, salah satu aktor TGM yang memerankan tokoh pelacur bernama Karni. Kecuali berlatar belakang disutradarai Suharjoso –yang sangat memerhatikan detil gerakan para pemain, tokoh Karni menjadi tokoh yang sangat jauh dari kesehariannya. Bahkan, guna mendalami karakter Karni itu, dirinya harus mewawancarai beberapa PSK di area Pasar Kembang.
“Karni ini walaupun dia pelacur, tapi dia pintar dan mau mendengar. Dialognya yang paling kuat adalah saat dia menasihati gadis yang mau bunuh diri. Karni berkata, ‘Kau tidak bisa terus-menerus lari, Jeng. Sekuat tenaga manusia lari, kakinya akan terbentur kembali pada kenyataan!’. Di sini terlihat bahwa walaupun dia pelacur, dia tetap memikirkan keselamatan orang lain,” ujar Harizka Tarigan dengan penuh semangat.
Dalam penilaiannya, secara umum Agnes mengamati bahwa perkembangan teater di Yogyakarta sudah cukup baik. Beragam genre, yaitu mulai dari old school hingga modern, bisa dikumpai. Karenanya, dirinya tetap memiliki harapan agar keragaman tersebut tetap terjaga, bahkan bisa lebih dari itu, yaitu adanya jalinan kerja sama antarkelompok teater. Sementara secara khusus Irfanuddien Ghozali sebagai kurator pementasan memaparkan harapannya perihal pasca acara ini dihelat, bahwa metode latihan dan pementasan yang diterapkan sangat mungkin untuk bisa dilanjutkan sehingga mampu menciptakan ruang untuk saling bertemu dan berkolaborasi.
Perihal melintasi “Djembatan Gondolaju” ini sejatinya bisa dicermati dari dua pendapat pun penilaian di atas, baik secara umum dari Agnes pun secara khusus oleh Irfanuddien Ghozali, kita dapat menyimpulkan bahwa di sinilah letakdi mana FKY2019 mengajak melintasi “Djembatan Gondolaju”. []
Source: Official Doc FKY