Keberadaan dari suksesnya penyelenggaraan Jambore Difabel sebagai awal dari Pekan Budaya Difabel tak lain adalah juga dari latar-belakang keberadaan Yogyakarta sebagai pusat persilangan budaya dunia. Baik itu dipandang dari sisi geografis, politis, ekonomis, historis, ataupun dari sisi sosiologis. Ini berarti, menjadikan kemampuan budaya DIY dalam berinteraksi dalam perjumpaan, persinggungan, sekaligus perbenturan dengan berbagai budaya dunia.
Bahwa hidup bersama dalam keberagaman dan pergaulan dunia dengan latar-belakang berbeda, tak pelak menjadikan suasana keseharian di wilayah Yogyakarta sangat akrab terhadap konsep lingkungan inklusi, di mana inklusi itu sendiri di dalamnya memiliki makna sebagai satu pendekatan untuk membangun serta mengembangkan satu lingkungan yang semakin terbuka; mengajak masuk dan mengikut-sertakan semua orang dengan berbagai perbedaan latar-belakang, karakteristik, kemampuan, status, kondisi, etnik, budaya, dan hal lain semacamnya.
Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa terbuka dalam konsep lingkungan inklusi berarti semua orang yang tinggal, berada dan beraktivitas dalam lingkungan keluarga, sekolah ataupun masyarakat merasa aman dan nyaman mendapatkan hak dan melaksanakan kewajibannya.
Sehubungan dengan keadaan Yogyakarta sebagaimana terpaparkan di atas, maka titik balik, atau dalam bahasa lainnya adalah ‘Turning Point’ merupakan satu momen penting pada kehidupan seseorang, yaitu pada saat seseorang tersebut menemukan satu pencerahan melalui peristiwa-peristiwa dalam hidupnya dan membuat mereka mampu bangkit serta berubah menjadi orang yang lebih baik, bahkan bisa menginspirasi orang lain. Pun, seseorang tidak perlu terpuruk terlebih dahulu guna menemukan titik-balik dalam hidupnya.
Dalam makna seperti tersebut di atas, maka Pekan Budaya Difabel ingin menempatkan momentumnya sebagai “Turning Point” alias ‘Titik-Balik” bagi semua pihak, untuk kemudian bersama-sama membangun potensi diri, memanfaatkan support-system serta infrastruktur yang mendukung lingkungan inklusi. Di kondisi ini, sudah semestinya semangat inklusi menjadi kesadaran dari semua pihak.
Harapannya tak lain adalah kesadaran terkait dengan disabilitas dan inklusi sosial dapat mempengaruhi kebijakan dalam segala lini kehidupan. Sehingga, mampu terwujudkan Ekosistem Inklusi Jogja tanpa batas, tanpa diskriminasi, ntuk semua dalam lingkungan inklusif, tanpa terkecuali.
Terdapat berbagai kegiatan yang dihadirkan pada perhelatan berjudul Pekan Budaya Difabel tahun 2019, yang kesemuanya itu bisa dinikmati oleh khalayak luas.
Pada program-kegiatan pembuatan buku ini, tema yang diusung adalah ‘Turning Point’ dengan penulis berjumlah 7 orang, dan dicetak berbahasa Indonesia, baik menggunakan huruf latin ataupun huruf Braile. Agendanya, buku ini hanya dicetak terbatas, dan akan didistribusikan hanya pada saat diselenggarakan Seminar Pekan Budaya Difabel tahun 2019.
Dalam buku ‘Turning Point’ ini akan ditampilkan beberapa sudut pandang perihal berbagai sisi tentang disabilitas. Karenanya, para penulis yang terlibat dipilih dari berbagai bidang berdasar perannya, baik itu sebagai penyandang disabilitas, sebagai pendamping penyandang disabilitas, pun sebagai pengamat isu-isu disabilitas itu sendiri.
Buku ini dibuat dengan tujuan guna menggali pengalaman para penyandang, pemerhati, dan aktivis disabilitas. Pengalaman ‘Turning Point’ dalam buku tersebut diharapan mampu menjadi penggugah semangat, sekaligus mempertajam kepekaan serta solidaritas dan kepedulian kita.
Seminar dalam Pekan Budaya Difabel 2019 diselenggarakan pada hari Senin 18 November 2019 sekira pukul 12:00 WIB, yang di dalamnya juga ada agenda peluncuran Buku ‘Turning Point”. Pada rangkaian seminar ini berlaku sebagai moderator adalah Susilo Nugoho, atau dikenal dengan julukan Denbaguse Ngarsa.
Yang disajikan dalam pameran ini adalah berbagai karya yang dihasilkan oleh kawan-kawan penyandang difabel. Selain itu, ada pula berbagai hal lain yang turut dipamerkan. Sebut saja alat bantu, kuliner, jasa reparasi kursi roda, dan beberapa hal lain semacamnya.
Ada berbagai macam program workshop yang diselengggarakan pada helatan Pekan Budaya Difabel ini, di antaranya adalah sebagai berikut;
Untuk operet inklusi, ada dua sesi yang dihadirkan, yaitu sesi anak-anak dan sesi dewasa. Ia dipersembahkan pada hari Rabu, 20 November 2019, dengan tempat berada di Gd Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta.
Mengenai pertunjukan harian disajikan pentas inklusi dengan jadwal diumumkan melalui kanal digital yang dikelola oleh Penyelenggara Pekan Budaya Difabel, salah satunya yaitu di akun Instagram dengan alamat @pekanbudayadifabel.yk
Demikian tentang Pekan Budaya Difabel yang penyelenggaraannya berpusat di area Taman Budaya Yogyakarta, dengan agenda selama 5 hari, yaitu dari tanggal 16 hingga 20 November 2019. Mengenai undangan seiring dengan perhelatan ini bisa didapatkan dengan datang langsung di kantor Kundha Kabudayan, alias Dinas Kebudayaan Yogyakarta, bisa juga menghubungi nomor 0857 2994 2469 (Depa).
Jangan sia-siakan untuk menikmati kesempatan ini, karena selain bisa berbagi rasa-bahagia dengan kawan-kawan difabel, kitapun akan bisa pula menikmati sajian menarik, di antaranya adalah persembahan musik dari Lani-Frau, serta penampilan Ari Wulu feat Arif One Leg Dance dari Malang. []