Maksud dari dihadirkannya HOTEL PURGATORIO sebagai instalasi konseptual mengenai hotel sebagaimana disebutkan di atas adalah guna โmenantangโ konsep hotel global yang standar, memusat dalam segala hal, dan yang bersifat korporasi. Hal tersebut hadir menjadi satu sajian yang masih berhubungan dengan instalasi, ruang, peristiwa/momentum, dan dekonstruksi mengenai hotel, yang itu sekaligus menjadi cara berpikir kita mengenai ruang dan menyadarkan bahwa setiap orang memungkinkan mempunyai otoritas membangun ruangnya.
Karyaย ini dikerjakan dalam waktu 3 hari secara struktur. Material dikumpulkan dari sumbangan individual ataupun material bekas pakai yang dikumpulkan dari jaringan ugahari, ada juga beberapa dari bekas rumah gusuran.
Selama dilangsungkannya Biennale Yogya XV Equator #5, hotel ini dikelola secara profesional oleh manajemen muda-mudi (karang-taruna) dari RW 10 Kampung Jogoyudan sebagai tuan rumah penginapan, dan dipublikasikan melalui jaringan airBnB. Selama jangka waktu itu pula, Hotel Purgatorio akan menjadi ruang publik bagi setiap orang untuk bertemu, berbincang, atau berdiskusi.
Acara sarasehan dan pembukaan Hotel Purgatorio dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 29 Oktober 2019, dengan tempat berada di Balai Serbaguna RW X Jogoyudan, pukul 20:00 WIB.
Dihadiri oleh pemuda dan pemudi warga Jogoyudan, ketua RT dan RW Jogoyudan, Kepala Dinas Kebudayaan Yogyakarta Aris Eko Nugroho, dan tak ketinggalan Staff ahli Gubernur Yogyakarta Drs. Tri Mulyono. Dalam acara sarasehan dan sekaligus pembukaan pembukaan Hotel Purgatorio tersebut ada pula sesi pemaparan yang dilakukan oleh Yoshi Fajar, dan kurator Biennale Jogja XV Arham Rahman.
Selain acara pembukaan Hotel Purgatorio, mengenai tujuan dari diadaakannya sarasehan adalah melibatkan masyarakat dan pemerintah untuk saling bersinergi menciptakan kawasan lingkungan yang dapat dijadikan ruang publik.
Pada sarasehan ini, secara keseluruhan antara warga dan pihak pemerintah saling mendukung adanya proyek Hotel Purgatorio. Artinya, secara bersamaan juga saling mendukung aktivitas yang berkaitan dengan kebudayaan. Hal tersebut seperti yang juga dituturkan ileh Drs. Tri Mulyono selaku staf ahli perwakilan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, yang mendukung kegiatan seni dengan melibatkan masyarakat. Menurutnya budaya yang tergerak maju dapat menjaga identitas nasional.
“Melalui kekayaan budaya yang menjadi teladan falsafah hidup, memaknai budaya, tidak hanya berkesenian, tetapi menjadi identitas esensial budaya, bagaimana suatu bangsa dapat bertahan,” ujar Tri Mulyono.
Sementaraย Kepala Dinas Kebudayaan Aris Eko Nugroho menjelaskan, bahwa sehubungan dengan makna kebudayaan berkaitan dengan Perda No 3 tahun 2017, mengembangkan kebudayaan yang melibatkan masyarakat dan pemerintah, rentan seniman Biennale menjadi kebutuhan setiap tahun, sebagai catatan yang dikembangkan.
Pemilihan Jogoyudan sebagai lokasi pembangunan Hotel Purgatorio karena berkaitan dengan tema Biennale Jogja XV, yaitu memaknai ‘pinggiran’.
Kecuali lokasinya yang terletak di pinggiran kota, masyarakat kurang tahu secara detail lokasi kampung Jogoyudan, karena tempatnya memang sempit. Oleh karena itu, proyek ini juga untuk mengenalkan potensi kampung Jogoyudan, dari sisi lokasi dan kemampuan warga dalam mengelola kampung.
Dalam pembuatan Hotel Purgatorio melibatkan pula masyarakat sekitar Jogoyudan, seperti wokshop Damar Kurung yang mengajak anak-anak untuk melukis dalam sebuah lampion. Di mana gambar- gambar tersebut merupakan representasi keaslian lingkungan dan aktivitas warga kampung Jogoyudan seperti; berjualan, memancing ikan, dan lain-lainnya.
Dapat diketahui pula, bahwa kelak, selepas helatan Biennale Jogja XV tahun 2019 ini usai digelar, Hotel Purgatorio ini bakal berganti nama menjadi Hotel Jogoyudan.
Kondisi lokasi karya pembangunan karya nantinya bisa saja berubah, dengan dikelola warga melalui Hospitality yang dikembangkan oleh warga itu sendiri. Mengingat di awalnya,ย Hotel Jogoyudan ini dibangun menggunakan material bambu, sebagai penunjang.
Meskipun begitu, standar Hotel Jogoyudan diakui secara Internasional. Karena ia juga digali melalui wokshop perkampungan, kuliner seperti membuat jamu, batik, ecofirm, pentas seni, dan diskusi film.
Hingga acara Biennale selesai di gelar di Yogyakarta, tamu yang datang akan disuguhi diskusi dan tawaran ruang publik bersama warga yang terlibat. []