Rasa kehilangan atas Djaduk Ferianto teramat sangat dirasakan oleh semua, utamanya para pemain Kua Etnika. Bila sehari-hari kerap latihan bersama, kepergian itu membuat pertahanan kesedihan mereka semua jebol. Bahkan untuk yang berpenampilan paling tegar sekalipun – mereka yang memiliki tato di badannya, misalnya, jelas Butet, tak kuasa menahan air mata setiap kali masuk studio untuk latihan.
Namun, kepergian Djaduk tak boleh dirayakan dengan tangisan. Butet berpesan, kepergian Djaduk harus diingat dengan cara berbahagia, terus berkreasi, dan menyajikan pertunjukan musik dengan baik.
Hal yang sama pun disampaikan oleh Soimah Pancawati. Ia tak kuasa berbicara banyak karena akan menangis. Tapi, ada satu pesan yang ia sampaikan terkait mendiang Djaduk Ferianto. “Pak Djaduk, asu tenan! Pak Djaduk memang asu tnan. Sugeng sare, Pak Djaduk.”
Menurut Soimah, Pak Djaduk akan lebih senang di-asu-asu-in ketimbang kepergiannya diratapi dengan tangisan.
Ibadah Musikal ini digagas oleh Kua Etnika dan Ngayogjazz yang kemudian mendapatkan banyak dukungan dari berbagai pihak, menjadi pertunjukan musik sebagai cara mengingat almarhum, ialah sosok seorang seniman yang tak selalu gelisah dalam berproses, dengan cara sukacita ia melakukan segala aktivitasnya. Pertunjukan musik yang berlangsung pada hari Selasa 25 Februari 2020 itu berlangsung selama kurang lebih tiga jam (mulai pkl. 20.00 – 22.45 WIB), dengan diisi oleh begitu banyak penampil. Pembuka yang apik dengan ditampilkannya Tricotado, yakni grup band jaz asal Yogyakarta.
Berikutnya berturut-turut adalah Kua Etnika baik dengan mbak Silir Pujiwati selaku vokalis Kua Etnika, atau juga mengiringi beberapa musisi lainnya. Sebut saja Tashoora, Syaharani, Richard Hutapea, Endah Laras, juga Shoimah Pancawati dengan membawakan lagu Turun Sintren; turun, turun sintren. Sintrene widadari. Nemu kembang yun ayunan. Nemu kembang yun ayunan. Kembange si Jaya Indra Widadari.
Ada pula James F Sundah yang khusus datang dari Amerika yang turut membawakan lagu Lilin-lilin Kecil bersama Kua Etnika. Setelah penampilannya, beliau menjelaskan bahwa pertemanannya dengan Djaduk terbilang sangat dekat dan telah berkangsung lama. Ketika Djaduk bertandang ke negeri Paman Sam itu, bisa dipastikan menginap di rumahnya. Pun sebaliknya, saat James menyambangi Jogja, tak jarang iapun mendatangi kediaman Djaduk. Karena kedekatan dan juga melihat kepedulaian Djaduk akan nilai seni budaya, maka dengan ringan tangan James F Sundah akan membantu pendaftaran copyright lagu-lagu Djaduk Ferianto di lembaga copyright Amerika. Hal ini dilakukan supaya lagu-lagu mendian aman dari pembajakan pun kelak lebih bisa dinikmati secara mendunia.
Pada pertunjukan semalam, Kua Etnika juga membawakan komposisi baru, yakni lagu yang disusun sepeninggal Djaduk Ferianto. Komposisi tersebut berjudul Nguntapke. Selanjuttnya, mereka juga membawakan lagu yang akan dipentaskan di Festival Jazz di Cape Town, Afrika Selatan, yang berjudul “Angin Gunung”.
Teater Gandrik pun turut tampil. Djaduk Ferianto semasa hidupnya selalu menggarap musik untuk setiap pertunjukan Teater Gandrik. Malam itu mereka menampilkan lagu Tidur, Tidur dari pementasan Para Pensiunan dan lagu dari pementasan Hakim Sarmin.
Tak bisa dimungkiri rasa haru dan sedih menyelimuti seluruh bagian di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta malam itu. Namun, sesuai amanat dari Butet Kertaredjasa, kepergian Djaduk tak usah dirayakan dengan rasa bersedih yang terlalu dalam. Justru, sepeninggal mendiang, mereka harus tetap berkarya dengan suka cita. “Janganlah hanya mengikuti jejak abu Djaduk Ferianto, tapi justru kita harus melanjutkan api semangat yang telah disulut oleh Djaduk Ferianto.”