Paniradya Kaistimewan sebagai pihak penyelenggara adalah lembaga perangkat daerah yang dibentuk berdasar pada Perdais No. 1 Tahun 2019 tentang Kelembagaan Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta. Tugas dari lembaga ini adalah membantu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dalam penyusunan kebijakan terkait dengan urusan keistimewaan dan pengoordinasian administratif urusan keistimewaan.
Sementara untuk maksud dan tujuan dari diadakannya gelaran “Jogja Menyapa” adalah guna menyapa para siswa serta para mahasiswa baru yang ada di kota Yogyakarta guna menempuh pendidikan sekaligus sebagai penghuni baru yang tinggal di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Gelaran Jogja Menyapa yang mengusung tema “Ngaruhke, Ngarahke – Tepung, Dunung, Srawung” dengan tempat berada di area Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta ini adalah wujud dari tanggapan Pemerintah Daerah –dalam hal ini diwakili Paniradya Kaistimewan– atas datangnya para mahasiswa baru di kota budaya Jogjakarta guna lebih memperkenalkan Keistimewaan Yogyakarta.
Perihal bentuk yang diperkenalkan dari keistimewaan Yogyakarya itu ada banyak macam sudut pandangnya. Bisa itu istimewa dipandang dari sisi kehidupan sosial kemasyarakatan, dari pola perilaku kesantunan, dari segi keramah-tamahan, dari sisi kultur seni budaya serta kuliner, dan juga dipandang dari beragam ragam sisi menarik lainnya.
Beni Suharsono selaku Pejabat Paniradya Kaistimewan –atau acap disebut sebagai Paniradya Pati— propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memaparkan bahwa melalui helatan “Jogja Menyapa” harapannya adalah agar para mahasiswa yang baru saja datang ke Jogjakarta, yang itu juga berasal dari berbagai latar belakang budaya di seluruh pelosok nusantara, semuanya bisa mengenal perihal budaya Yogyakarta, sehingga kelak tidak gagap budaya.
Beni Suharsono juga menambahkan bahwa dengan harapan itu tak lantas membuat mereka -para mahasiswa harus berubah menjadi ‘seperti orang Jogja’, lain dari itu, mereka yang baru tinggal dan akan hidup sekaligus berinteraksi di Jogja (dengan budaya Jawanya) ini diharapkan tetap bisa membawa unsur dan identitas budayanya sendiri, untuk kemudian bisa saling melengkapi dan membaur dalam kehidupan bermasyarakat, dan juga dalam kerangka ber-bhineka tunggal ika.
Menanggapi tajuk yang diusung pada helatan ini, bahwa perihal ‘Ngaruhke’ bisa diejawantahkan bahwa ada niatan untuk ‘mrajani’ alias menerima sekaligus menjemput tamu sebagaimana lazimnya dilakukan masyarakat jawa di wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada kehidupan sehari-hari. Sementara mengenai ‘Ngarahke’ memiliki makna bisa memberikan arahan serta petunjuk tentang berbagai hal terkait dengan Yogyakarta yang Istimewa, termasuk di dalamnya mengenia adat budaya serta norma dan tata susila yang berlaku. Dengan demikian, ada saling pemahaman antara masyarakat Jogja dengan mereka para mahasiswa yang baru saja datang dan tinggal di Yogyakarta tersebut.
Gelaran ‘Jogja Menyapa’ digelar pertamakali tahun 2019, yaitu di kawasan Universitas Gadjah Mada. Ini bukan berarti hanya mahasiswa UGM saja yang memiliki hak menikmati helatan ini. Lebih dari itu, tempat ini terpilih sebagai venue awal lantaran perguruan tinggi ini memang memiliki sejarah penting dengan keberadaan Republik Indonesia dan juga dengan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dan karena sifatnya terbuka untuk umum dan gratis, termasuk untuk semua mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi lain, maka kemungkinan besar gelaran ini juga akan dihelat secara rutin setiap tahun, yang sangat mungkin tempatnya pun berbeda dan berada di perguruan tinggi lainnya.
Harapan lain yang muncul dari helatan ‘Jogja Menyapa’ ini adalah bahwa para pendatang –terutama lingkup mahasiswa baru– bisa mengaplikasikan sikap ‘Tepung, Dunung, lan Srawung’. Tepung memiliki makna dapat memahami, Dunung berarti bisa lebih mengena, sedangkan Srawung sepadan dengan kalimat mampu menjalin hubungan lebih dekat dan akrab.
Dari ujung tajuk yaitu berupa kata “Srawung”, pada akhirnya diharapkan juga agar kelak kemudian hari muncul rasa betah ataupun ‘krasan, bagi mahasiswa baru selama berada di Jogja.
Secara teknis gelaran “Jogja Menyapa” yang dihelat di area Pelataran Soegondo, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada dan dimulai sekira pukul 16:00 WIB ini, berlaku sebagai pembawa acara adalah Trio A yang tak asing lagi di telinga warga Jogja. Ialah Alit Jabangbayi, Anang Batas, dan Awangisme.
Apabila tiga MC Selososelo itu berada di atas panggung secara bersamaan, sudah bisa diperkirakan sajian yang dipersembahkan pun bakal menjadi meriah bukan saja perihal helatannya, namun juga candaan dan guyonan segarnya. Hal ini tentu selaras dengan rangkaian acara yang dihadirkan, yaitu berupa guyonan, gojekan, plesetan, sekaligus dialog budaya.
Dan selain guyonan, gojekan, plesetan, sekaligus dialog budaya, ada pula sajian seni tari berujud tarian tradisional dari beberapa daerah di Indonesia. Di antaranya adalah Rampoe UGM, Tarian Sumba, Tarian Halmahera, dan tak ketinggalan penampilan Beksan Wanara dari Kraton Jogja.
Dan di samping ada penampilan dari Semata Wayang, Traffix Jam, serta Keroncong Plesiran, serta grup legendaris dari FIB UGM; Sastro Moeni, masih ada juga yang tak boleh ditinggalkan, ialah penampilan suara khas nan merdu dengan membawakan tembang-tembang jawa, tak lain tak bukan, ialah The Lord of Broken Heart; Didi Kempot.
Pemanggungan Didi Kempot di helatan ‘Jogja Menyapa’ ini seirama dengan harapan awalnya. Sikap sedih pun patah hati hanya layak untuk dijogeti. Bahwa meski ada sebagian mahasiswa yang masih bersedih karena harus berpisah jauh dari orangtua, namun itu semua tak pantas dijadikan alasan untuk juga bergundah-gulana. Tetap semangat dan selalu berbudaya dengan mengejawantahkan sikap tepung, dunung, dan srawung di Jogja. []
Pic Didi Kempot from IG didikempot_official