5 Seniman dan atau Kelompok Seni Terpilih dari Perupa Muda Biennale Jogja XV yang telah menggelar karyanya mulai tanggal tanggal 1 Agustus 2019 telah diumumkan berbarengan dengan acara jumpa pers, Senin sore 5 Agustus 2019.
Sebelumnya, pada hari Minggu 04 Agustus 2018, Dewan Juri pameran Platform Perupa Muda Biennale Jogja XV – 2019 yang terdiri dari Faruk HT (budayawan), Nasir Tamara (akademisi), Nindityo Adipurnomo (seniman), Eko Prawoto (arsitek), dan Zamzam Fauzanafi (akademisi) telah melakukan proses seleksi atas 16 seniman/kelompok seni peserta pameran “Dari Batu, Air, dan Alam Pikir… Untuk Udara dan Kehendak Bebas Manusia”.
Dari 16 peserta pameran tersebut, dipilih 5 seniman dan atau kelompok seni yang nantinya akan ikut serta dalam pameran utama Biennale Jogja XV Equator #5 2019 pada tanggal 20 Oktober sampai 30 November 2019.
Pemilihan 5 seniman/kelompok seni tersebut didasarkan pada beberapa kriteria, di antaranya adalah;
- Aspek visual (bahasa ungkap dan metafor) karya
- Kesesuaian antara karya dengan gagasan tentang pinggiran yang menjadi tema Biennale Jogja XV – 2019
- Keselarasan antara material yang digunakan dengan isu yang dibicarakan
- Kebaruan atau inovasi dalam segi visual, penggunaan material, dan perspektif terhadap isu
Berdasar kriteria-kriteria di atas, di bawah ini adalah 5 seniman pun kelompok seni terpilih dari Perupa Muda Biennale tahun 2019.
- Wisnu Ajitama dengan karya berjudul Umbai-Umbai
Karya Wisnu dianggap berhasil menghadirkan tafsir tentang masalah yang diangkatnya dengan cukup kuat. Wisnu mampu melampaui kecenderungan untuk sebatas menghadirkan isu dan bisa menghadirkan perspektifnya atas isu tersebut.Pemilihan medium karya dari tripleks juga jadi penting sebab mampu menyentuh gagasan tentang pinggiran sebab identik sebagai material untuk bangunan-bangunan di daerah-daerah kumuh perkotaan. Selain itu, pilihannya untuk menghadirkan usus sebagai bentuk visual juga mampu jadi metafor yang baik bagi kebutuhan untuk makan.
- Yosep Arizal dengan karya berjudul Tanggalan Mani
Karya Yosep memiliki perspektif yang menarik dalam mendekati naskah kuno. Alih-alih menghadirkan kembali apa yang di dalam naskah, Yosep memilih untuk bermain-main dengan naskah kuno tersebut. Laku ini bisa dilihat sebagai upaya untuk mempertanyakan pengetahuan, khususnya tentang isu seksualitas perempuan dan laki-laki.Di titik itu, ada upaya untuk mempertanyakan wacana utama dari isu yang dihadirkan sekaligus menghadirkan alternatif atasnya. Secara visual, karya ini juga punya potensi yang sangat kaya untuk dikembangkan lebih jauh.
- Meliantha Muliawan dengan karya berjudul Point of Interest
Karya Meliantha ini memiliki bahasa visual yang mudah dimengerti sebab jelas dan komunikatif. Pilihannya untuk menghadirkan kartu pos yang secara medium mulai terpinggirkan adalah pilihan yang menarik. Observasinya soal pariwisata Indonesia yang masih menggunakan citraan-citraan arus utama yang mengetengahkan eksotika Indonesia memperkaya karya ini.Sulit sekali, atau bahkan tidak mungkin, mendapatkan visual-visual daerah pinggiran dalam kartu pos pariwisata Indonesia. Di titik ini, pilihan Meliantha untuk melipat dan menutup kartu pos tepat di objek-objek utamanya jadi menarik sebab bisa dilihat sebagai laku intervensinya atas citraan arus utama tersebut. Selain itu, laku Meliantha untuk melukis ulang kartu pos-kartu pos yang ditemukannya menekankan kemampuannya dalam segi teknik kekaryaan.
- Studio Malya (kelompok) dengan karya berjudul Have You Heard It Lately?
Karya Studio Malya ini mampu jadi metafora yang baik untuk rumor-rumor yang begitu banyak tentang peristiwa 65. Bahasa ungkap karya ini membuat orang bisa merasakan sisi ketidakjelasan narasi tragedi tersebut. Secara konten dan presentasi karya, ada banyak potensi yang masih bisa dieksplorasi dari karya ini.Selain itu, pilihan Studio Malya untuk fokus pada perspektif anak muda atas peristiwa tersebut juga jadi menarik. Sudut pandang ini belum banyak digali oleh seniman-seniman lain yang juga menghadirkan soal 65 dalam karya- karyanya.
- Pendulum (kelompok) dengan karya berjudul Rest In Fear
Karya Pendulum berhasil menghadirkan narasi tentang pinggiran yang lekat dengan persoalan tenaga kerja dan tidak jauh dari kehidupan sehari-hari. Karya ini dianggap mampu menghadirkan pertanyaan penting tentang masalah tenaga kerja lewat sesuatu yang “sederhana” macam kebutuhan pekerja untuk beristirahat.Di sini, karya ini mampu membuat publik melihat hal-hal yang mungkin terlewat dalam keseharian mereka. Intervensi ruang publik yang digunakan dalam karya ini punya potensi besar, sekaligus menantang, untuk dikembangkan lebih lanjut. Secara visual dan presentasi, karya ini juga punya banyak aspek menarik untuk dieksplorasi.
Kelima seniman/kelompok seni terpilih selanjutnya akan mendapat proses pendampingan lebih lanjut untuk mempersiapkan partisipasi mereka dalam pameran utama Biennale Jogja XV Equator #5 2019. Pameran utama Biennale Jogja XV Equator #5 2019 akan berjudul Do We Live In the Same PLAYGROUND? dengan fokus mengangkat tema pinggiran.
Do We Live In the Same PLAYGROUND? sebagai judul yang dipilih adalah satu pertanyaan dan ajakan untuk solidaritas. Pameran ini dimaksudkan sebagai pertanyaan tentang posisi seniman, audiens, dan pihak-pihak lain dalam berbagai isu yang dihadapi, kritik, atau sindiran terhadap praktik seni yang menjadikan dunia dan penderitaannya sebatas jadi medan permainan, konsep, dan inspirasi. Pameran ini juga dimaksudkan sebagai respons terhadap isu bersama dan juga beragam persoalan yang berlangsung di konteks negara masing-masing yang digerakkan oleh otoritas tertentu. []
Pressrelease: biennalejogja.org