Puno Letters to the Sky | Menjadi “mudah” dalam menyusun cerita adalah ketika hal itu dimulai dan berangkat dari pengalaman pribadi. Ada kedekatan peristiwa, juga emosi yang lebih mudah digali, dan plot serta alur yang sudah diciptakan oleh peristiwa real sebelumnya. Hanya saja, yang jadi masalah; bagaimana bila cerita yang sifatnya cenderung ‘privat’ itu dipresentasikan pada khalayak umum? Terlebih menggunakan media teater boneka yang memilih minim kata dalam menyampaikan peristiwa?
Apakah susunan peristiwa dapat tersampaikan dengan baik? Apa emosi yang muncul bisa dirasakan oleh semua penonton? Dan, apakah plot juga alur mampu dipahami tanpa mengerutkan kening?
Ada dua sosok boneka Puno dan Tala dalam pertunjukan Puno; Letters to the Sky garapan Papermoon Puppet yang dihelat selama beberapa hari di awal bulan Juli 2018 lalu. Puno dan Tala adalah sepasang ayah dan anak perempuan yang hanya tinggal berdua. Mereka menjalani hari-hari dengan menyenangkan; bermain petak-umpet, makan es krim di taman, menggodai penonton, makan malam bersama, dan kegiatan lainnya.
Hingga suatu hari, kepala Puno terasa sakit sekali, setelah sebelumnya (boneka) laki-laki itu melihat sebuah awan bulat mengikutinya. Digambarkan dan pada cerita bahwa Puno mengetahui perihal ajalnya yang sebentar lagi akan tiba. Tak lama, ia dioperasi karena penyakitnya.
Tala hadir di dekat Puno, berdiri diam. Puno terbangun dan ingin memeluk Tala, namun tak bisa. Apa daya, segala usahanya sia-sia. Puno tak bisa mendekati anak perempuannya. Meski begitu, Puno masih bisa melindungi putrinya dari kejauhan. Tala yang tak bisa menyimpan rindu, akhirnya menulis surat pada kertas yang kemudian dibentuk perahu (origami). Sendirian ia pun melangitkan surat-perahu itu untuk Puno.
Cerita mengenai Puno; Letters to the Sky ini berangkat dari pengalaman pribadi Ria Papermoon sebagai penulis naskah sekaligus founder Papermoon Puppet, kelompok teater boneka di Jogja. Pengalaman pribadi itu adalah tentang kehilangan sahabat. Saat itu sahabat Ria tergolek lemah dan kemudian melihat ‘Awan Merah’ atau ‘Red Cloud’ yang menandakan sebentar lagi ia akan ‘pergi’.
‘Awan Merah’ digambarkan sebagai sebuah boneka besar putih gemuk melayang-layang. Hanya saja, tak semua penonton mampu memahami wujud itu sebagai awan merah, karenanya dalam pertunjukan teater boneka ini, tentu sah-sah saja apabila penonton tidak membatasi imajinasi. Mereka bisa mengartikan jalan cerita dan segala bentuk boneka sebebas-bebasnya. Apalagi jika dirasa pada sebagian orang, kehadiran awan putih ini – yang ternyata kemudian bernama ‘Red Cloud’ agak membingungkan. Hal ini sebagaimana yang penulis dapatkan dari obrolan penonton usai pertunjukan.
Kebingungan penonton ihwal nama ‘Red Cloud’ memang lebih pada kurangnya refferensi dan tak begitu familiarnya istilah itu. Namun lebih dari itu, tanpa diberi nama pun, melalui alur cerita penonton sudah bisa mengetahui atau minimal menebak-nebak siapa atau apa tugas si awan bulat gembul ini; semacam malaikat pencabut nyawa dan yang sejenisnya. Di sini letak kekurangan, namun juga menjadi hal yang bisa ditunjukkan sebagai kelebihan.
Dapat dilihat pada adegan awal pertunjukan Puno Letters to the Sky. ‘Sesuatu’ berwarna putih terang dan berukuran kecil melayang-layang di udara. Kemudian ‘Red Cloud’ keluar menyerahkan selembar daun bergambar wajah seseorang. Ia pun menerima selembar daun yang baru, bergambar wajah Puno. ‘Awan Merah’ menjalankan tugas, menemui Puno hingga kematiannya tiba. Setelah semuanya beres, ‘Awan Merah’ ini kembali menyerahkan selembar daun bergambar wajah Puno pada ‘sesuatu’ yang berwarna putih terang dan berukuran kecil. Penggambaran adegan tugas ‘Awan Merah’ berhasil dengan baik. Hanya saja, penamaannya saja yang kurang.
By the way, penulis mengetahui siapa nama awan putih gemuk itu juga selepas membaca buku cerita tentang Puno – jalan ceritanya sama dengan isi pertunjukan, namun ada beberapa perbedaan pada detailnya. Cerita versi bukunya justru jauh lebih membikin meneteskan air mata ketimbang saat menonton pertunjukan. Kalau mau bukunya, mungkin bisa menghubungi Pappermoon Puppet, yes. #BantuTeman 🙂
Ada sedikit adegan yang menunjukkan bahwa Puno memberikan perahu kertas pada Tala. Selanjutnya Tala memain-mainkannya. Kemudian pada akhir adegan, Tala menerbangkan surat-perahu-kertas tersebut ke langit yang mengundang banyak sekali surat-surat perahu-kertas lain untuk ikut turun memenuhi ruangan.
Terasa sedikit ada lompatan di sini. Seperti ‘tiba-tiba’ saja Tala memiliki ide untuk: menulis surat dan mengirimkannya ke langit. Seandainya sedari awal dibangun tradisi melayangkan surat ke udara, tentu adegan ini akan memancing keharuan yang lebih-lebih lagi. Dan ini juga bisa membantu menjelaskan tentang di mana keberadaan ibu Tala.
Iya, penulis paham, bahwa dalam pertunjukan ini Ria Papermoon ingin menunjukkan kedekatan figur ayah dengan anak perempuan, pun pekerjaaan rumah tangga yang bisa dikerjakan oleh laki-laki. Artinya, tak semua harus identik dengan sosok ibu/perempuan, baik perihal kedekatan mengasuh anak pun ihwal melakukan pekerjaan domestik. Tidak ada yang salah dengan itu – lebih tepatnya, tidak ada yang salah dengan niat dan keinginan seorang pekarya dalam menyusun ceritanya. Namun tidak salah pula, ketika setidaknya dihadirkan penjelaskan sedikit tentang di mana keberadaan ibu Tala.
Seorang penonton yang tak sempat membaca sinopsis atau mencari tahu lebih tentang pertunjukan ini, sempat mengira boneka Puno dan Tala adalah sepasang kekasih. terlebih secara fisik memang boneka ini terlihat seusia. Karenanya, dari tiga ‘dua’ yang disebutkan di atas, mungkin bisa disatukan dengan ‘memunculkan sosok ibu’ pada pertunjukan ini.
Seumpama saja, pada bagian depan sebelum benda putih dan Red Cloud melayang-layang membagi dan menerima tugas, ada adegan Tala mengirimkan surat berupa perahu kertas ke langit. Ia bisa menggumam “Mama Tala….” lalu hadir Puno di belakang, turut mendongak. Barulah kemudian adegan benda putih bersinar plus Red Cloud muncul.
Penambahan adegan awal mengenai tradisi melangitkan surat perahu kertas untuk seseorang yang telah tiada bisa memperkuat beberapa bagian. Pertama, tentu saja, untuk memperjelas hubungan antara Puno dan Tala, bahwa mereka adalah ayah dan anak perempuan. Dan jelas bahwa keberadaan ibu memang sudah tiada. Sehingga, sewaktu adegan Puno PDKT pada penonton perempuan lalu Tala menyeletuk “Mama Puno…” kelucuan bisa hadir lebih kuat. Tatkala hal ini dilakukan, persoalan tiadanya “Mama Tala” entah karena memang sudah meninggal, ataupun bentuk perpisahan lain, toh itu tak jadi soal.
Kedua, tentu saja, tradisi mengirim surat ke langit untuk mereka yang sudah meninggal, akan semakin mempertegas kesedihan dan kesendirian Tala. Ada alasan kuat mengapa ia akhirnya menulis surat dalam bentuk perahu kertas lalu mengirimkannya ke langit. Sehingga ketika puluhan surat-perahu-kertas yang turun pada akhir pertunjukan bisa menyentuh hati penonton lebih hangat dan lebih ‘memilukan’ lagi. ‘Pilu’ karena hanya melalui surat itulah seseorang yang masih ada di bumi bisa berkomunikasi dengan seseorang yang telah meninggalkan dunia.
Lain dari itu, ada pula dua pertanyaan. Pertama, kenapa tak menyelaraskan judul “Letters to the Sky” ini dengan membuat origami perahu ini berujud kapal terbang yang memang merupakan jenis kendaraan yang sifatnya adalah “to the Sky”. Jika lebih pada teknis karena perahu kertas itu memiliki sisi-lambung yang memungkinkan untuk ditulisi pesan penonton, sepertinya hal ini tak begitu menjawab pertanyaan.
Kedua, ketika sampai pada adegan Ayah Puno di ruang kerjanya bersama Tala, usai mereka becanda, kemudian tiba-tiba ada suara burung yang menakutkan. Apakah sosok burung ini memang sengaja dihadirkan dengan berbagai alasan? Kalau iya, apakah alasan itu bisa dicerna tanpa ambiguitas pula? Sosok burung gagak sehingga bisa membuat takut anak kah? Tapi bagaimana dengan sosok burung merpati yang justru acap diidentikkan dengan simbol perdamaian? Bukankah keduanya sama-sama berwujud burung? Kenapa tak digambarkan suara petir misalnya, yang itu memang acap membuat anak kecil kaget, takut, lalu buru-buru mendekat ke arah orangtuanya?
Sebagai sebuah pertunjukan teater boneka, pementasan Puno Letters to the Sky tentu memiliki treatment yang berbeda dengan pertunjukan dengan aktor manusia. Terlebih pertunjukan kali ini memilih untuk tak banyak berkata-kata, kecuali “Papa Puno”, “Tala”, dan tawa cekikih yang riang antara dua tokoh yang bermain.
Hal ini menjadikan persiapan pementasan membutuhkan usaha yang lebih, terutama dalam usahanya menyampaikan cerita, dan menyampaikan kesedihan yang sama. Ada dugaan, Ria Papermoon merasakan kesedihan yang teramat sangat saat menyusun cerita, jangan-jangan kesedihan yang muncul adalah sedih yang berasal dari ingatan akan kehilangannya. Bukan kesedihan yang muncul dari hasil olah cerita dan laku pertunjukan Puno. Jadi, bagi kreator mungkin sudah cukup puas dengan takaran kesedihan yang dirasakannya secara pribadi. Sementara bagi penonton ternyata takaran itu kurang cukup membuatnya menangis.
Well, tapi memang harus diakui, sulit sekali memisahkan perasaan personal saat menggarap sebuah karya. Tentu, latar belakang kreator akan mempengaruhi setiap proses.
Dan, well, sebagai sebuah pertunjukan utuh pementasan Puno Letter to the Sky sangat patut diapresiasi dengan tepuk tangan dan… susutan ingus?
Well, untuk bagian mrembik-mrembik mungkin… nanti dulu.
Well Done, Sir, Sist! 😀
Catatan: