Pembukaan Biennale Jogja XV Equator #5 turut dihadiri Kanjeng Pangeran Haryo (Perwakilan Gubernur DIY), Aris Eko Nugroho S.P., M.Si. (Kepala Dinas Kebudayaan Yogyakarta), serta berbagai tamu undangan.
Biennale Jogja Equator #5 dibuka dengan doa bersama yang dipimpin oleh seniman Abdoel Semute dari Surabaya. Doa dilantunkan dalam berbagai latar belakang agama, mencerminkan keragaman yang ada di Indonesia. Setelah kata sambutan pembukaan oleh Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta Alia Swastika, para kurator; Akiq AW, Arham Rahman, dan Penwadee Nophaket Manont mengenalkan seluruh seniman yang terlibat dalam perhelatan Biennale Jogja XV Equator #5 ini.
“Yang terpenting adalah spirit kolaborasi dan berbagi dalam mempersiapkan, dari berbagai seniman dan panitia serta volunteer yang telah bekerja mempersiapkan selama dua bulan ini, representasi dari seni itu sendiri dalam mewujudkan Biennale Jogja Equator #5,” kata Alia Swastika.
Sementara itu Kepala Dinas Kebudayaan Yogyakarta Aris Eko Nugroho S.P., M.Si. dalam sambutannya sangat memberikan apresiasi terhadapt pelaksanaan Biennale Jogja XV tahun 2019 ini.
“Semoga dapat menjadi sarana diskusi edukatif antara seniman dan masyarakat, kami percaya bahwa Biennale membawa multi-player efek bagi masyarakat Yogyakarta,” ungkap Aris.
Pemukulan gong oleh perwakilan dari Dinas Kebudayaan DIY, Aris Eko Nugroho S.P., M.Si. dilakukan sebagai tanda pameran Biennale Jogja XV Equator #5 telah resmi dibuka.
Pembukaan Biennale Jogja XV Equator #5 juga turut diramaikan oleh para musisi dan seniman. Penampilan pertama diawali oleh musisi Thailand, Thanom and Friends yang menyambut berbagai tamu yang datang. Thanom and Friends menampilkan solo guitar akustik yang bernuansa musik tradisi Thailand.
Pada prosesi pembukaan juga tampil Icipili Mitirimin, sekolompo anak-anak di bawah bimbingan Pardiman Joyonegoro yang bernyanyi secara acapela alias paduan suara, sekaligus juga memainkan alat musik tradisional berujud gamelan yang antara lain adalah saron, gong dan lain-lainnya. Selanjutnya giliran penampilan dari band dengan nama “The Beast Kids” yang unjuk gigi. Ialah band yang anggotanya adalah anak-anak dari siswa SD Tumbuh Yogyakarta.
Malam harinya, kelompok queer Amuba menyapa pengunjung pameran Biennale Jogja XV di Taman Budaya Yogyakarta, sedangkan di area Jogja National Museum yang semakin ramai tersaji pula kehadiran Voice Of Baceprot di atas panggung. Voice of Baceprot atau dikenal pula dengan akronim VOB adalah band yang berisi tiga wanita hijabers yang berasal dari Garut -Jawa Barat dengan aliran musik heavy-metal. Kehadiran tiga ‘mojang priangan’ yang dianggap mampu merepresentasikan tema pinggiran dalam Biennale Jogja XV tahun 2019 ini ternyata merupakan persembahan yang ditunggu-tunggu dan banyak dinantikan oleh publik seni di Yogyakarta. Terbukti sejak awal pertunjukannya, semua penonton sangat antusias.
Panggung pembukaan Biennale Jogja XV ditutup oleh aksi musisi eksperimental Pisitakun Kuantalaeng yang berasal dari Thailand, yang disambung dengan penampilan dari Raja Kirik yang berkolaborasi dengan Silir Pujiwati.
Untuk menyertai rangkaian acara besar Biennale Jogja XV Equator #5, tersajikan pula berbagai program publik berupa aktivitas-aktivitas kreatif dan intelektual diperuntukkan bagi masyarakat setempat dari berbagai kalangan supaya dapat turut berpartisipasi dan mendapatkan manfaat lebih dalam penyelenggaraan Biennale Jogja kali ini.
Program publik tersebut antara lain berupa Tur Pameran Berpemandu, Wicara Seniman, Wicara Kuratorial, Simposium Publik, Pemutaran Film bekerja sama dengan Forum Film Dokumenter, serta sejumlah Lokakarya dan Diskusi bersama Seniman-Seniman Biennale Jogja.
Hal tersebut merupakan perwujudan dari salah satu fungsi Biennale yaitu menyebarkan pengetahuan- pengetahuan alternatif dan gagasan-gagasan inovatif dalam ranah seni budaya kepada publik yang luas, serta untuk menciptakan generasi muda yang penuh imajinasi, berlaku kreatif dan berpikir kritis untuk menjadi bagian dari upaya mengantisipasi kompleksitas masa depan.
Tahun ini untuk memperluas gagasan tentang Asia Tenggara dan melihat khazanah khatulistiwa secara lebih beragam, diciptakan sebuah inisitiaf baru yang disebut sebagai Bilik Nasional.
Kata “bilik” yang dipilih merupakan sebuah tawaran untuk mengganggu konsep paviliun yang telah mapan dalam berbagai peristiwa kebudayaan internasional, yang terutama sejarahnya berawal dari pendirian paviliun nasional di Biennale Venice.
Dengan memilih kata Bilik, tidak saja ingin menegaskan distingsi ini, tetapi Bilik juga merujuk pada gagasan pinggiran, seperti terpisah dari yang pusat tetapi menopang kekuatannya. Untuk edisi pertama bilik nasional 2019, dihadirkan karya bersama dengan tiga negara yaitu Taiwan, Hong Kong dan Timor Leste, yang semuanya mempunyai relasi kuat dengan Asia Tenggara.
Kelima seniman dalam pameran ini menunjukkan bagaimana relasi antara Taiwan dengan Asia Tenggara dalam sejarahnya yang panjang juga membentuk bagaimana kedua wilayah ini saling ‘memandang’ dalam konteks yang lebih kontemporer. The Library of Possible Encounters berangkat dari gagasan untuk mengumpulkan berbagai keterhubungan dan perjumpaan di antara dua konteks, dan juga bagaimana keduanya berkait dengan dunia.
Tempat: Helutrans Jogja National Museum
Dibuka hingga tanggal 30 November 2019
Pukul 10 – 20 WIB
Parasite diundang terlibat untuk mengkurasi Bilik Hongkong pada gelaran Biennale Jogja 2019 untuk memberikan studi lebih dekat berkait koneksi historis dan relasi masa kini Hong Kong dengan Asia Tenggara, terutama dalam isu pekerja domestik migran dan peristiwa sosial lainnya
Tempat: PKKH UGM
Dibuka hingga tanggal 30 November 2019
Pukul 11 – 18 WIB | Hari Minggu tutup
Tema pinggiran diterjemahkan oleh REKREATIF melalui representasi kehidupan sosial Timor Leste di wilayah-wilayah yang tak terjangkau. Misalnya, masyarakat Timor mempraktikkan hidup yang telah diwariskan sejak nenek moyang ke generasi selanjutnya, dengan kebajikan yang diberikan turun temurun.
Menjadi sebuah kehormatan bagi nenek moyang maupun bagi dunia untuk bisa membuka dan membagi keaslian keyakinan tradisional, seni dan budaya di desa Manufahi Kiik sebuah kebudayaan masih diajarkan dan dipraktikkan sekarang.
Tempat: PKKH UGM
Dibuka hingga tanggal 30 November 2019
Pukul 11 – 18 WIB | Hari Minggu tutup