Larung Kali Lestari Gajah Wong yang sifatnya terbuka untuk umum ini, agendanya diselenggarakan pada hari Minggu tanggal 27 Oktober 2019 mulai pukul 8:00 pagi hingga sekira pukul 11:00 WIB. Sedangkan mengenai titik kumpulnya, berada di Dronjongan RT 53 Balirejo, Muja Muju, Umbulharjo, Yogyakarta.
Sebagai acara yang diagendakan pada helatan bertajuk “Larung Kali Lestari Gajah Wong” ini, maka ada beberapa rangkaiannya. Di antaranya adalah sebagaimana tercantum di bawah ini.
Memaknai laku Larung Kali Lestari Gajah Wong, tak pelak kita harus mengawalinya dari perwujudan air yang berlimpah dan mengalir di sungai, sebagaimana yang bisa dilihat di Kali Gajah Wong.
Bahwa air, dalam peradaban memiliki tempat yang sangat penting. Tidak hanya dari kegunaannya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, air juga memiliki nilai simbolis yang dihargai dalam beragam religi dan tradisi. Air tidak hanya dijadikan sebagai sarana untuk bersuci, tetapi juga digunakan sebagai wahana untuk mengirimkan rasa syukur dan doa kepada alam semesta dan Yang Maha Kuasa.
Melihat air dalam memaknai Larung Kali Lestari Gajah Wong tersebut, dalam salah satu agama (Islam) yang diyakini warga, ibadah baru dapat sah dilakukan jika badan telah bersih dari hadas dan najis, yang dibersihkan dengan air. Sementara umat Hindu juga menghargai air sebagai tirtha atau toya sebagai sumber kesucian dan pembersihan, lambang penciptaan dan kehidupan, sebagai sebagai pemelihara, sehingga unsur air selalu ada di candi atau pura.
Selain dua keyakinan di atas, Buddhisme juga menjadikan air sebagai sarana untuk menyucikan diri, baik lahir maupun batin, sekaligus memunculkan sifat ke-Buddhaan dalam diri kita, yang ada pada setiap makhluk hidup. Selain menempatkan air sebagai sarana pembersihan, penahiran, dan pembersihan dosa, Alkitab pun juga memuat banyak pelajaran dari kisah-kisah tentang guna penting air bagi lingkungan.
Lain dari itu, kebudayaan Tionghoa pun mendudukkan air sebagai salah satu dari lima elemen dasar kehidupan manusia, selain kayu, api, tanah, dan logam. Begitu pula dengan banyak kebudayaan yang lain di dunia.
Jawa menjadi salah satu ruang hidup kebudayaan yang bercorak agraris di Nusantara. Sejak masa prasejarah hingga era modern, peradaban yang muncul silih berganti di pulau dengan penduduk terbanyak di dunia ini tentu saja tak bisa lepas dari air. Prasasti Tugu dari Kerajaan Tarumanegara pada sekitar abad V Masehi melaporkan upaya penggalian sungai untuk mengantisipasi banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.
Beragam waduk dan kanal juga dibangun di ibukota Majapahit yang berdiri di dataran banjir untuk mendukung kehidupan kerajaan dan masyarakat selama dua setengah abad. Kraton Kasultanan Yogyakarta pun juga dibangun di atas mata air tepat di antara dua sungai, Code dan Winongo, pada pertengahan abad XVIII Masehi. Pada masa pendudukan Jepang, Sri Sultan Hamengku Buwono IX memprakarsai pembangunan Selokan/Saluran Mataram, yang selain merupakan strategi politik, juga menjadi upaya untuk mendukung pertanian di wilayah Jogjakarta bagian utara.
Rasa syukur atas limpahan anugrah alam berupa air tak terkecuali juga ingin disampaikan oleh warga Balirejo yang hidup di sekitar bantaran Sungai/Kali Gajah Wong, Yogyakarta. Ialah dengan laku Larung Kali Lestari Gajah Wong.
Bahwa tinggal di wilayah perkotaan tidak menjadikan warga setempat abai dengan sungai karena ada banyak manfaat yang dapat dirasakan. Tidak hanya menyediakan beragam satwa, seperti ikan, udang, dan belut yang dapat dikonsumsi warga, sungai ini juga menjadi sumber material pasir dan batu untuk bangunan. Warga juga memanfaatkan sebagian lahan di sekitar aliran sungai untuk bertani. Semakin marak juga kelompok warga yang menyulap bantaran sungai yang dulu dianggap kotor dan wingit, menjadi ruang publik yang bersih dan nyaman untuk dikunjungi.
Kegiatan Larung Kali Lestari Gajah Wong kali ini ditujukan bukan hanya sekadar untuk memanjatkan rasa syukur dan doa kepada Tuhan dan alam, tetapi juga menjadi sarana memelihara kerukunan warga sekitar bantaran sungai agar dapat terus bersama-sama menjaga kelestarian Kali Gajah Wong.
Ritual Larung Kali Lestari Gajah Wong ini juga diharapkan dapat menjadi undangan bagi warga, baik di hulu maupun hilir Kali Gajah Wong, untuk selalu bersama-sama menjaga aliran sungai ini dari ancaman bencana alam dan pencemaran.
Sebagaimana aliran sungai lainnya di wilayah perkotaan Yogyakarta, Kali Gajah Wong juga memiliki tantangan untuk menanggulangi beban pencemaran yang semakin tinggi, baik yang bersumber dari limbah rumah tangga, pertanian, usaha jasa, hingga industri. Doa dan harapan dari Gajah Wong ini semoga dapat menjadi energi positif di tengah potensi krisis air yang mengancam Jawa dalam 20 tahun mendatang. []