Gamelan robot yang berkolaborasi ini dikembangkan oleh Arutala, yaitu sebuah developer game di Yogyakarta yang membuat sebuah aplikasi gamelan dan dimainkan secara virtual menggunakan kacamata virtual reality (VR) oculus. Karena itu, orang yang mengenakan kacamata VR dan memainkan aplikasi ini seolah-olah memainkan gamelan secara langsung.
Pengembangan gamelan robot ini dilakukan dalam workshop internal yang menjadi rangkaian dari kegiatan YGF ke-26 dan dilaksanakan pada tanggal 13 September 2021. Hasil dari workshop inilah yang ditampilkan dalam konser penutupan Yogyakarta Gamelan festival ke-26 tahun 2021.
Sebagaimana yang dituturkan oleh Ambar Setyawan yang merupakan Chief Product Officer Arutala, bahwa kolaborasi ini membawa teknologi yang menghadirkan pengalaman berbeda dalam memainkan gamelan. Masih menurut Ambar, ini menjadi kali pertama Arutala melakukan kolaborasi dengan komunitas kesenian, karena pada waktu-waktu sebelumnya, developer game ini masih sebatas berkolaborasi untuk kepentingan bisnis dan perusahaan. Karena itu iapun tidak menampik ada tantangan tersendiri dalam mengembangkan aplikasi ini, seperti memadankan bunyi gamelan yang asli dan virtual.
“Sampai akhirnya kami bisa meningkatkan padanannya dan hampir mendekati suara aslinya, dan akan terus kami kembangkan,” ucap Ambar.
Mengenai aplikasi gamelan robot ini, Sudaryanto sebagai salah satu pemain gamelan virtual dari Saron Groove memberikan pendapat bahwa menggunakan aplikasi ini seperti halnya memainkan gamelan dengan instrumen yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. “Suaranya tetap berbunyi selayaknya gamelan yang nyata,” tuturnya.
Namun Sudaryanto juga mengungkapkan penilaiannya bahwa masih ada persoalan dalam latensi ketika memainkan gamelan virtual terutama dalam tempo tertentu.
Rembug budaya yang mengangkat tema Gamelan Hari Ini: Tantangan dan Perkembangan digelar secara bauran (hybrid) atau perpaduan daring dan luring melalui live streaming di www.YGFlive.com, sehari sebelum penutupan YGF ke-26, atau tepatnya pada hari Sabtu 25 September 2021.
Rembug budaya menghadirkan pembicara Kepala Dinas Kebudayaan DIY Dian Lakshmi Pratiwi, SS, M.A., Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) DIY Dra. Dwi Ratna Nurhajarini, M.Hum, pegiat seni karawitan I Made Christian Wiranata Rediana, pegiat seni tari Gandung Djatmiko, dan abdi dalem wiyogo Arsya Rintoko dengan moderator Anon Suneko dari Omah Gamelan.
Menurut Redian, sampai hari ini gamelan masih hidup. Namun, ia meminta untuk melihat gamelan tidak hanya dari satu sisi.
“Mengutip Sapto Raharjo, gamelan menjadi media pembelajaran banyak hal,” ujarnya.
Redian melihat gamelan sebagai rahmat Tuhan yang harus dirawat dan gamelan bukan hanya milik pengrawit. Gamelan adalah pengharapan luar biasa untuk masa depan supaya bisa memaknai hidup dengan baik.
Sementara itu Arsya Rintoko melihat bahwa gamelan sebagai nyawanya orang Jawa (mengutip Prof. Timbul Haryono). Ia juga mengibaratkan gamelan seperti media sosial di masa kini karena gamelan bisa menembus batas sosial dan mempertemukan berbagai kalangan yang memiliki latar belakang berbeda.
Di lain sisi Gandung juga menilai bahwa gamelan sampai saat ini masih tumbuh dan berkembang. Ia menekankan gamelan sampai kapan pun bukan hanya rumus tetapi juga rasa. “Rumus ada patokan dan baku, tetapi tidak hanya rumus, melainkan juga rasa. Rumus bisa didefinisikan, rasa tidak bisa,” ucapnya.
Seturut dengan pernyataan dari Gandung Djatmiko tersebut, maka ia membagi perlakuan terhadap gamelan ke dalam tiga bagian, yaitu:
Konsep membunyikan gamelan juga berbeda, misal membunyikan gamelan Jawa tidak bisa dipaksakan dengan intensitas gamelan Bali.
“Tidak apa-apa jika itu gamelan milik sendiri, tetapi jangan memperlakukan gamelan orang lain seperti itu,” kata Gandung.
Dwi Ratna Nurhajarini yang merupakan Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) DIY menyoroti cara menghormati dan memberlakukan gamelan dengan perilaku yang pas. “Penyampaiannya harus dicari yang nyambung, literasinya harus nyambung, seperti mengapa gamelan enggak boleh dilangkahi,” tuturnya.
Melalui gamelan, ia berpendapat orang bisa belajar harmonisasi. Bunyi-bunyian setiap instrumen gamelan tidak boleh ada yang menonjol. Dari sini, orang bisa belajar berharmoni dengan lingkungan dan keseharian.
26th Yogyakarta Gamelan Festival (YGF) 2021 atau Yogyakarta Gamelan Festival ke-26 yang rangkaiannya dibuka tanggal 23 September 2021 dan ditutup tanggal 26 September 2021 masih serupa dengan helatan satu tahun sebelumnya, yaitu masih dipresentasikan secara daring melalui live streaming via www.YGFlive.com mulai pukul 18.00 sampai 21.00 WIB.
Selama empat hari penyelenggaraan YGF ke-26, ribuan penonton menyaksikan perhelatan ini secara daring. Tidak hanya berasal dari berbagai daerah di tanah air, seperti, Palangkaraya, Makassar, Bandar Lampung, dan daerah-daerah di Jawa, melainkan juga pennton dari luar negeri. Tercatat, penonton dari New York, Sydney, Jerman, Prancis, India, Bangladesh, Kuala Lumpur, Singapura, dan sebagainya ikut menonton YGF ke-26 via daring.
YGF ke-26 yang diikuti komposer, musisi, dan pencinta gamelan ini diselenggarakan Komunitas Gayam16 dan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta serta didukung oleh Badan Pelestarian Nilai Budaya DIY. Seluruh rangkaian kegiatan YGF ke-26 juga menerapkan protokol kesehatan secara ketat mengingat masih dalam masa pandemi Covid-19.
Konser gamelan yang digelar selama empat hari penyelenggaraan YGF ke-26 bukan hanya menampilkan konser karawitan tradisional, melainkan juga pertunjukan musik gamelan yang bersifat modern dan kontemporer. Seniman yang berpartisipasi tidak hanya dari Indonesia, melainkan juga India dan Prancis.
Dalam penutupan YGF ke-26, Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) DIY Dra. Dwi Ratna Nurhajarini, M.Hum mengapresiasi kegiatan YGF ke-26 yang berlangsung sukses. Ia mengajak masyarakat untuk semakin memperdalam karakter melalui media-media kebudayaan.
Program Director YGF Ishari Sahida atau akrab dengan panggilan Ari Wulu menuturkan pula bahwa sebagai bagian dari kebudayaan dunia, gamelan telah membuktikan keberadaannya bertahan di masa pandemi melalui pergerakan budaya bernama Yogyakarta Gamelan Festival. Sekalipun sama-sama digelar secara daring, YGF ke-26 kali ini hadir dengan semangat yang berbeda.
“Tidak hanya mengajak musisi gamelan di dunia untuk mengapresiasi musik gamelan, tetapi juga mengawinkan gamelan dengan teknologi masa kini,” ujar Ari Wulu.
Ari Wulu mewakili Komunitas Gayam16 mendedikasikan YGF ke-26 untuk para senior yang sudah mendahului, seperti Rahayu Supanggah, Ki Narto Sabdo, Sapto Raharjo, dan Djaduk Ferianto.
“Mereka menginspirasi kami dalam pengembangan gamelan di masa yang tidak mudah. Mungkin dulu mereka mengalami masa yang tidak mudah juga,” ucapnya.
Sehubungan dengan hal di atas, dalam YGF ke-26 kali ini dihadirkan pula delapan komposer muda, yakni, Gaung Kyan Renantya Sidarta (Kalacakra), Jatu Danang Prawatya (Background Genk), Shandro Wisnu Aji (Nadhaskara), Anom Wisnu (Sanggar Anak Seni Nusantara Sekar Jati Laras), Tulus Ari Widodo (Candra Laras), Raden Sujarwanto (Srawung Krumpyung), Dian Indra Nugraha (Jodhipati), dan Sandyo (SWARASVARGA).
Pada akhirnya Ari Wulu juga menyampaikan terima kasih kepada khalayak luas, masyarakat yang sudah mengapreasasi terselenggaranya YGF ke-26. Sampai jumpa di YGF tahun 2022 yang akan datang. []