“Semar Gaung” yang hendak dipentaskan di Ruang Njagong, Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) Yogyakarta ini adalah karya pertunjukan dari PSBK yang bekerjasama dengan Bakti Budaya Djarum Foundation sebagai upaya seniman untuk membaca sosok Semar dalam realitas hari ini.
Guntur Nur Puspito merupakan salah satu seniman yang menerima Hibah Seni PSBK tahun 2019. Ia terlahir di Parigi -Sulawesi Tengah pada tahun 1998 namun sudah menginjak kota Yogyakarta sejak belia, tepatnya dimulai sejak ia menemuh pendidikan di bangku Sekolah Menengah Musik (SMM) Yogyakarta. Di SMM Bugisan inilah ia memiliki major di instrument biola yang langsung dibawah asuhan Pupik Yeti Vivi Yanti & Sapta Ksvara Kusbini. Lulus dari SMM pada tahun 2001, Guntur melanjutkan pendidikan tingginya dengan mengambil studi S-1 di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, dibawah bimbingan Oni Krisnerwinto S.Sn., & Drs. Djunaedi.
Tahun 2008, setamat dari S1 di ISI, Guntur Nur Puspito selanjutnya dibawah bimbingan Drs. RM. Singgih Sanjaya M.Hum., dan Oni Krisnerwinto ia menekuni aransemen yang telah ia geluti sebelumnya tersebut. Kemudian pada kurun waktu tujuh tahun terakhir iapun menekuni musik dalam penggarapan sebuah karya, baik karya sendiri maupun karya kolaborasi.
Sementara untuk “Semar Gaung” pada pertunjukan di Jagongan Wagen PSBK ini menjadi pementasan musik kolaboratif yang digagas dirinya atas pembacaan ulang terhadap sosok Semar dengan mengkontekstualisasikannya pada realitas yang ada saat ini.
Dalam mempresentasikan karyanya tesebut, pria asal Sulawesi ini juga berkolaborasi dengan Bayu Aji Nugraha yang berprofesi sebagai dalang, Asita Kaladewa yang merupakan seniman pantomime, Kinanti Sekar Rahina sebagai seorang penari, dan juga Muhammad Shodiq sebagai penulis naskah.
Pementasan kolaboratif tersebut tertuju pada dialog perihal pengetahuan hari ini, seperti halnya pitutur Semar yang tak lagi didengar. Suaranya menggaung, terlontar, membentur pada kepala-kepala beku dan kembali kepada dirinya sendiri.
Seperti yang telah kita pahami, Semar merupakan salah satu sosok dengan karakter yang kuat dan luas pengetahuannya dalam pewayangan, sehingga dia dijuluki pamong para ksatria. Semar merupakan simbol pengetahuan yang menjadi rujukan.
Tapi sayang zaman ini sudah berubah. Setiap manusia sudah mampu mengakses ‘pamong (guru)’-nya masing-masing. Sesederhana membuka layar gawai dan menemukan sumber-sumber; rujukan-rujukan daring pun bersumber dari dunia maya (online) seolah sudah disejajarkan dengan guru. Atau lebih jauh lagi, menganggap semua yang berasal dari daring mempunyai bobot pengetahuan yang sama. Dalam konteks Semar, ini seperti membayangkan tentang apa yang terjadi jika murid-murid Semar tidak lagi menjadikannya sebagai rujukan sumber pengetahuan. Ruang-ruang yang mulanya bersifat nyata hari ini disejajarkan dengan ruang-ruang yang bersifat maya.
Dari pertunjukan Semar Gaung di kompleks art center PSBK kali ini, Guntur Nur Puspito hendak mengajak kepada para penonton guna merenungkan kembali perihal kebiasaan-kebiasaan kita saat ini dalam mengakses pengetahuan melalui dunia internet. Tidak dapat dimungkiri bahwa dunia internet pun dunia maya ini telah membukakan akses pengetahuan seluas-luasnya dan tanpa batas kepada kita smeua, namun di lain sisi dunia maya juga telah menghilangkan peristiwa tatap muka dalam mengakses pengetahuan. Bahwa dalam peristiwa tatap muka ada hal lain yang kita dapatkan yaitu belajar tentang adab (attitude). Sementara perihal akses ilmu pengetahuan di dunia maya seringkali absen akan perihal adab itu sendiri. []