Jika mendengar nama Teater Garasi bisa jadi beberapa orang akan langsung terngiang dan sekaligus familiar dengan sosok aktor bernama (alm) Gunawan Maryanto. Sangat bisa dipahami, lantaran ia yang menjadi punggawa Teater Garasi tersebut juga telah malang melintang di dunia panggung Indonesia, baik itu di ranah teater, film, atau bahkan sastra. Wiji Thukul adalah sosok nama yang ia lakonkan dan kemudian mengantarkannya untuk mendapatkan penghargaan Piala Citra.
Lupakan sejenak tentang Gunawan Maryanto (yang juga berjuluk ‘Cindhil’) yang telah berpulang. Karena kali ini kita akan menyajikan perihal Teater Garasi yang kenyataannya tetap dan terus bergiat sekaligus turut meneruskan karya kreatif ‘Mas Cindhil’ di sana. Pasalnya, selepas hampir satu dekade tidak berpentas di Yogyakarta sebagai rumah tinggal, kali ini, di area JOgja National Museum sebagai tempat dihelatnya Festival Seni Kontemporer ARTJOG, Teater Garasi kembali mempresentasikan karya yang bertajuk “Waktu Batu, Rumah yang Terbakar”.
Karya Teater Garasi bertajuk ‘Waktu Batu, Rumah yang Terbakar’ kali ini dipresentasikan di Yogyakarta dalam rangkaian program ARTJOG bertajuk ‘Performa ARTJOG 2023’, agenda tepatnya adalah pada tanggal 1 (preview), 2 dan 3 Juli 2023. Selain itu, ia juga bakal hadir pula di Jakarta, yaitu dalam rangkaian kegiatan Djakarta International Theater Platform (DITP) dengan jadwal pada tanggal 17 dan 18 Agustus 2023.
“Waktu Batu. Rumah yang Terbakar” merupakan versi terkini dari proyek panjang Waktu Batu, yang dimulai sejak tahun 2001, di mana pada sepanjang perjalanannya tahun 2002 – 2006 telah melahirkan beberapa versi pertunjukan yang dipentaskan di beberapa kota di Indonesia, Singapura, Berlin, dan Tokyo.
Di tahun 2022 silam, karya yang menjadi bagian dari proyek panjang Waktu Batu ini juga diundang untuk diciptakan dan dipentaskan kembali di Festival Indonesia Bertutur – Borobudur – Jawa Tengah, yang penggarapan pada pertunjukan versi baru fokus pada tematik baru: duka ekologis (ecological grief).
“Waktu Batu. Rumah yang Terbakar” disutradarai oleh Yudi ‘Oglenk’ Ahmad Tajudin, sementara berlaku sebagai penulis dan dramaturg adalah Ugoran Prasad.
Waktu Batu yang dipresentasikan pertengahan tahun 2023 kali ini dimaktubkan dalam Waktu Batu Versi ke-4, yang dalam penciptaannya berkolaborasi dengan seniman-seniman lintas disiplin, yaitu Majelis Lidah Berduri, Mella Jaarsma, Deden Bulqini, Tomy Herseta, Tri Rimbawan, Yennu Ariendra, Retno Ratih Damayanti, Luna Kharisma, A. Semali. Sedangkan berlaku sebagai talent ataupun performer adalah juga lintas generasi, antara lain adalah Andreas ‘Inyong’ Ari Dwiyanto, Erythrina Baskorowati, Arsita Iswardhani, Tomomi Yokosuka. Enji Sekar Ayu, Wijil Rachmadani, Putu Alit Panca Nugraha, Syamsul Arifin, serta Putri Lestari.
Kala merunut dari kata ecological grief dari Waktu Batu ini maka dapat dikatakan bahwa fokus tematik dari pertunjukan ini merujuk pada perasaan kesedihan akibat kehilangan ataupun kepunahan yang terjadi atau yang akan terjadi, termasuk kepunahan spesies, ekosistem, dan lanskap berharga, di mana kepunahan itu terjadi karena adanya perubahan lingkungan yang akut serta kronis. Dari sana selanjutnya dirunut dengan berbagai penelitian terkini, kenyataannya menunjukkan bahwa individu sangat mungkin bisa mengalami tahapan kedukaan dan sekaligus mencari dukungan sosial dalam menghadapi keputusasaan iklim serta kecemasan ekologis.
Ugoran Prasad selaku penulis dan dramaturg mengungkapkan bahwa mendekati isu duka ekologis dari sudut pandang dunia ketiga, maka karya ini meletakkan krisis ekologi sebagai hasil yang tak terhindarkan dari modernitas dan kolonialitas.
“Berdiam dalam ketimpangan dunia global, karya ini hendak membuka percakapan tentang watak dan artikulasi duka ekologis Selatan dunia, termasuk pertanyaan atas praktik macam apa yang perlu dilakukan, puisi macam apa yang perlu dituliskan, duka (atau bahkan murka) macam apa,” tutur Ugoran Prasad.
Sementara itu Yudi Ahmad Tajudin sebagai sang sutradara mengatakan bahwa dalam meluaskan dan mendekati secara kritis percakapan tentang tema duka ekologis, Teater Garasi menggarap ulang Waktu Batu. Rumah yang Terbakar tahun ini juga dengan menajamkan sisi kesilang-mediaan antara teater dengan video game, dan sinematografi, serta menguatkan unsur-unsur visual dan tata cahaya.
Di sisi lain, BM Anggana yang akrab dipanggil ‘Eng’ selaku selaku kurator program Performa • ARTJOG 2023 menuturkan bahwa pertunjukan Teater Garasi kali ini sangat relevan dengan gagasan dari Performa ARTJOG 2023. yaitu yang mengusung tema Movere, yang berarti ‘sesuatu yang bergerak’. Bahwa pengertian tersebut menjadi penegasan hubungan saling kebertopangan antara seni dan masyarakat dalam sebuah kontinum percakapan berkelanjutan.
“Formulasi isu dan bentuk dari karya WB.RyT memiliki daya sebagai sebuah bahasa baru untuk dialami, pertunjukan Teater Garasi menggerakan percakapan pada kualitas paradigma yang kritis, khususnya pada semesta isu ekologi yang sedang terjadi hari ini,” ungkap BM Anggana.
Sebagaimana pentas Setelah Lewat Djam Malam yang dinobatkan sebagai Karya Seni Pertunjukan Pilihan Tempo 2022, pertunjukan “Waktu Batu. Rumah yang Terbakar” di Yogyakarta dan Jakarta ini ingin merawat ruang pertemuan antar-generasi dari ragam lapisan penonton Teater Garasi, sembari turut mendorong pertumbuhan generasi baru penonton teater Indonesia. []