The School of Hope sendiri bisa didefinisikan sebagai satu workshop kreatif untuk lebih dari 200 anak-anak muda yang tergabung dari berbagai negara, di antaranya adalah Inggris, Belgia, Amerika Serikat, Kanada, dan juga Indonesia, yang digelar guna menyuarakan perubahan bersama-sama di project seni digital, di mana kelak hasil kreatif dan manifesto harapan mereka, khususnya perihal masa depan dari project ini, bakal dikemas ke dalam sebuah film pendek, dan selanjutnya akan ditayangkan secara global di akhir tahun 2021.
Workshop seni dalam ‘The School of Hope’ ini diselenggarakan oleh kelompok seni dari Inggris berjuluk The Paper Birds dan didukung juga oleh British Council, di mana untuk wilayah Indonesia kali ini ia bekerjasama dengan PSBK, karenanya lokasi gelaran workshop juga bertempat di area Padepokan Seni Bagong Kussudiardja. Sementara sejumlah 17 sosok-peserta adalah sosok-sosok muda yang dipilih secara acak dan berasal dari beberapa komunitas berbeda di wilayah Jogjakarta pula, di mana para peserta itu di dalamnya adalah mereka yang berasal dari komunitas difabel, komunitas santri, dan juga komunitas LGBTQ.
Dalam pelaksanaanya, kelompok seni asal Inggris ‘The Paper Birds’ ini juga telah merancang serangkaian ‘pelajaran’, termasuk mengajak empat seniman Inggris; Akeim Toussaint Buck, Arwa Aburawa, Sonny Green, dan Jade Anouka untuk menciptakan karya-karya yang akan direspon oleh para peserta workshop sebelum akhirnya peserta akan membuat karyanya sendiri. Di samping itu, The Paper Birds juga bekerja dengan para akademisi dalam merancang rangkaian ‘pelajaran’ di The School of Hope, serta mengembangkan pengukuran dampak atas tema empati yang dibahas oleh para peserta.
Beberapa sosok kompeten dari Indonesia juga turut dihadirkan dalam project ini, di antaranya adalah Beni Sanjaya; ialah seniman multidisiplin dan kini aktif di Papermoon Puppet, Gladhys Elliona; sosok muda yang aktif di kajian seni dan kini masih menempuh pendidikan di Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa -Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, dan juga Devi Nur Safitri; sosok muda yang super-aktif bergiat di seni tari. Ketiganya berlaku sebagai fasilitator pada ragam aktivitas kreatif yang tertuang dalam setiap pelajaran.
Para seniman yang terlibat pada project ini melalui rangkaian diskusi perencanaan intensif bersama The Paper Birds juga membahas kemungkinan kreatif dari setiap pelajaran dan bagaimana para seniman fasilitator memproses fasilitasinya yang dikolaborasikan dengan daya seninya masing-masing.
Sementara itu pada kesempatan yang sama seiring project pun kegiatan workshop berlangsung, Jeannie Park selaku Direktur Eksekutif PSBK mengungkapkan ketertarikannya, pasalnya besar ekmungkinan ia bisa membawa untaian pembelajaran kreatif sekaligus artistik.
“Project ini sangat menarik bagi kami karena membawa untaian Pembelajaran Artisitik dan Kreatif dalam pelibatan komunitas dan kolaborasi ke tingkat selanjutnya – yang memperkuat dampak, meningkatkan keterampilan dan pemahaman dan mendorong strategi kreatif ke arah yang baru,” ungkap Jeannie Park.
Jeannie melanjutkan bahwa dengan dukungan melalui Connections Through Culture Programme dari British Council, pihaknya sangat senang karena dari kolaborasi ini memungkinkan PSBK untuk memfasilitasi kualitas pertukaran seniman UK-ID.
“Ini memungkinkan PSBK untuk memfasilitasi kualitas pertukaran seniman UK-ID dalam mempersiapkan pelaksanaan pelajaran The School of Hope dengan komunitas; mengundang anak muda Indonesia baik Dengar maupun Tuli dari berbagai latar belakang untuk berpartisipasi dalam workshop; dan menawarkan terjemahan paket digital The School of Hope sebagai sumber online yang dapat diakses oleh komunitas Indonesia lainnya,” imbuh Jeannie Park.
19 Juni menjadi hari terakhir digelarnya workshop, sekaligus sebagai hari bagi 17 peserta untuk mengungkapkan hal yang telah diperolehnya selama mengikuti workshop. Dari ragam penuturan yang diungkapkan masing-masing peserta, mereka merasa sangat surprise dengan kegiatan workshop kali ini. Karena pada awalnya, mereka justru menyangka datang ke workshop ya hanya duduk -diam -mendengarkan -dan kemudian pulang. Namun justru sangkaan itu semua tak terjadi. Lain dari itu, mereka malah bisa mempraktekkan langsung proses kreatif dan menggalinya dari kemampuan diri, sekaligus harus membuka diri terhadap beberapa kemungkinan, termasuk membuka ruang diri terhadap keberadaan rekan sesama peserta workshop, yang itu berasal dari komunitas sangat berbeda. Sehingga, seiring proses kreatif, para peserta juga dituntut untuk tetap bisa terbuka serta mampu memahami personal lain dalam melakukan kolaborasi sesuai kemampuan yang dimiliki.
The School of Hope -Indonesia yang menjadi manifesto harapan kaum muda kreatif tentang empati ini tepatnya diselenggarakan mulai tanggal 14 hingga tanggal 19 Juni 2021. Selanjutnya, kelak sebagai hasil akhir dari project ini bakal diterbitkan satu paket digital The School of Hope versi Indonesia yang kelak dapat diakses oleh masyarakat melalui laman-situs theschoolofhope.psbk.or.id.
The Paper Birds sebagai penyelenggara dari workshop seni adalah kelompok teater yang berasal dari Inggris dan telah bekerja bersama untuk komunitas sejak tahun 2003 silam. The Paper Birds membuat teater menggunakan tema-tema yang dirasa penting saat ini, dan percaya bahwa proses juga merupakan hal yang sama pentingnya sekaligus sama memberdayakannya sebagaimana hasil yang diperoleh. Mereka dikenal karena menggunakan kata demi kata (verbatim) dan membawa keragaman suara ke permukaan. Setiap tahun, terdapat 20.000 anak muda di seluruh dunia terlibat dengan karya mereka, baik sebagai peserta, audiens, ataupun rekan penulis.
Dari aktivitas yang dilakukan secara digital selama setahun terakhir dampaknya terus meningkat dan berkembang, karena itu The Paper Birds semakin giat dalam berusaha untuk mendorong perubahan; meningkatnya kehidupan orang-orang melalu seni melalui workshop, pertunjukan dan dialog yang mereka pimpin. Selengkapnya: www.thepaperbirds.com []