Pagelaran yang menyajikan The Wayang Bocor, Api Kata Bukit Menoreh, Kelompok Kampungan, dan Paduan Suara UNY tersebut sejatinya telah diselenggarakan sejak tahun 2013. Dapat dikatakan bahwa ia merupakan bentuk tafsir- tafsir musikal yang bersumber dari karya sastra. Menilik kesuksesan Pergelaran Musikalisasi Sastra tahun 2018 di Gedung Societet TBY, acara itu pun kembali digelar pada tahun 2019 ini.
Sebagai penyempurna pagelaran yang diselenggarakan pada pukul 19:00 hingga 22:00 WIB tersebut, Studio Pertunjukan Sastra (SPS) Yogyakarta berkolaborasi dengan kegiatan Ruang Temu Pentas Sastra Lintas Komunitas, Festival Sastra Yogyakarta (Joglitfest) 2019 menyelenggarakan kegiatan Bincang-bincang Sastra (BBS) edisi ke-168 bertajuk “Mbara, Perjalanan Setelah Kata”, yang berinti pada pembahasan proses kreatif di balik pagelaran. Kegiatan berlangsung keesokan harinya, yaitu Sabtu malam 21 September 2019) di Ruang Seminar TBY, sejak pukul 19.30 hingga 22:00 WIB.
Menurut Latief S. Nugraha selaku carik SPS Yogyakarta, “Perjalanan Setelah Kata” merupakan satu kesadaran dari ungkapan Sapardi Djoko Damono dalam puisinya “Dalam Bis”, yakni “Sebermula adalah kata…” yang pas rasa-rasanya untuk merangkum peristiwa pascasastra yang hadir selama ini.
“Menuju pementasan yang tersaji dalam Pergelaran Musikalisasi Sastra 2019 semalam, tentu ada proses kreatif yang dilalui. Jalan panjang menuju panggung yang gemilang cahaya itulah yang dibabar dalam acara Bincang- Bincang Sastra edisi 168 kali ini. Satu proses alih wahana dari teks yang tersusun di atas kertas menuju satu perunjukan agung di atas pentas justru menjadi penting untuk diperbincangkan,”ungkapnya.
Pada malam pagelaran, setelah disuguhi sajian dari Api Kata Bukit Menoreh yang menafsir puisi-puisi karya Abdul hadi W.M., Ragil Suwarna Pragolapati, Darmanto Jatman, Endang Susanti Rustamaji, Subagio Sastrowardoyo, dan M. Thahar dalam karya seni lukis atau sastra rupa, penonton kemudian menyaksikan penampilan memukau dan jenaka dari The Wayang Bocor yang digagas Eko Nugroho. The Wayang Bocor sendiri, di bawah sutradara Gunawan Maryanto, mempertunjukkan wayang kontemporer bertajuk “Permata di Ujung Tanduk” yang diangkat dari puisi-puisi perihal Sakuntala karya sang sutradara.
Gunawan mengungkapkan bahwa apa yang ditampilkan dalam Pagelaran Musikalisasi Sastra 2019, memang berangkat dari puisi saya dalam buku kumpulan Sakuntala yang diterbitkan Gramedia tahun 2018 silam. Gunawan mengaku jika ia tak tega kalau harus menggarap karya orang lain, alasannya, karena karya, termasuk puisi, itu merupakan ‘anak’ dari si empunya, yang dalam hal ini adalah penulis. Karenanya, ia menjadi suci.
“Penekanan kami memang pada aspek visual wayangnya sendiri, yang bercerita tentang tokoh-tokohnya sebagai satu pencarian utama dari penampilan tersebut. Berkaitan dengan apa yang ditampilkan semalam, kami memang telah melalui proses persiapan dengan rangkaian-rangkaian latihan.Kami secara rileks ‘bermain-main’, sekaligus menguji seberapa leluasa kami dapat bermain dengan puisi-puisinya,” lanjut pria yang juga telah malang melintang dalam dunia keaktoran tersebut.
Selain Api Kata Bukit Menoreh dan The Wayang Bocor, Pagelaran Musikalisasi Sastra 2019 juga dimeriahkan oleh PSM Swara Wadhana UNY dan Kelompok Kampungan. Sebagaimana telah disaksikan bersama, pagelaran itu telah berlangsung dengan gemilang. Lebih kurang 800 kursi penonton di Gedung Concert Hall TBY dipenuhi para penonton yang sebagaian besar ialah generasi milenial.
Dengan latar seperti terpaparkan di atas, maka selain Gunawan Maryanto, dalam BBS -Bincang-bincang Sastra- edisi 168 tersebut juga dihadirkan sosok-sosok yang terlibat menyukseskan pagelaran, baik sebagai penampil maupun pengonsep, seperti Lukas Gunawan Arga Rakasiwi sebagai pelatih Paduan Suara Mahasiswa Swara Wadhana UNY, L. Surajiya yang merupakan pelukis, Api Kata Bukit Menoreh, dan Sukandar -pegiat Studio Pertunjukan Sastra. Sangat disayangkan bahwa pada malam itu, Bram Makahekum yang merupakan pemimpin Musik Kelompok Kampungan berhalangan untuk hadir.[]