Berkaitan dengan gelaran hari pertama YGF ke-26 tersebut, maka dapat disaksikan bahwa bukan hanya sebatas gamelan saja yang memenuhi panggung, akan tetapi pada bagian belakang terpampang pula deretan wayang kontemporer.
Sapto Raharjo sebagai penggagas Yogyakarta Gamelan Festival ini pada tahun 1975 silam juga membuat wayang Kreasul, yaitu wayang kontemporer yang memiliki keunikan pada nama para tokoh wayangnya, seperti Gatotkaca Kribo, Arjuna Baju Loreng Gawa Pistol, Buto Rewog, dan lain sebagainya. Bukan itu saja, wayang-wayang Kreasul karya Sapto Rahardjo ini juga memiliki warna yang mencolok aatau yang kerap disebut dengan istilah warna neon.
Sapto Raharjo yang notabene adalah ayah dari Ari Wulu –generasi penerus selaku Direktur Program YGF 26 ini- pernah pula mementaskan wayang-wayang kreasul, antara lain di Shopping Center Sasana Triguna pada tahun 1975, di halaman SMAN 3 pada 1976 dan 1977, serta di Purna Budaya pada tahun 1979 silam. Semasa hidupnya dalam memainkan wayang-wayang buatannya tersebut, Sapto Raharjo mengiringinya dengan gending ketawang subakastawa slendro pathet sanga, yang lirik-liriknya juga dikarang oleh Sapto Rahardjo sendiri.
Pada pagelaran konser YGF ke-26 tahun 2021 ini, tepatnya di hari pertama, jumlah penonton yang menyaksikan secara daring melalui situs www.YGFlive.com mencapai ratusan. Para penonton yang menyaksikan gelaran Yogyakarta Gamelan Festival ke-26 di hari pertama ini berasal dari berbagai daerah di tanah air, seperti Palangkaraya, Makassar, Bandar Lampung, dan daerah-daerah di Jawa. Selain itu tak sedikit pula penonton yang berdomisili di mana-negara, sebut saja dari New York, Sydney, Jerman, Prancis, India, Bangladesh, Kuala Lumpur, Singapura, dan beberapa negara lainnya.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Program Director YGF Ishari Sahida atau lebih dikenal dengan nama Ari Wulu, bahwa sejak tahun 1995, YGF selalu berusaha hadir dalam kondisi apapun. Biasanya Komunitas Gayam16 menghadirkan YGF secara langsung, akan tetapi pandemi Covid-19 yang masih saja melanda hingga tahun ini, maka membuat kegiatan ini harus digelar secara daring ataupun online.
“Ini kedua kalinya YGF digelar secara online, meskipun tidak diadakan langsung bersama-sama tetapi, orang tetap bisa menikmati bersama-sama melalui internet yang melampaui batasan ruang dan waktu,” tutur Ari Wulu dalam sambutan pembukaan YGF ke-26.
Sementara itu Dwi Ratna Nurhajarini selaku Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mengatakan bahwa YGF ke-26 yang bisa terselenggara berkat dukungan Danais dan BPNB DIY kali ini menjadi bukti bahwa kegiatan kebudayaan tetap dapat dilakukan dengan konsep gotong-royong dan kebersamaan.
Di sisi lain Dian Lakshmi Pratiwi sebagai Kepala Dinas Kebudayaan DIY sekaligus pihak yang membuka YGF ke-26 kali ini juga memberikan apresiasinya terhadap YGF, apalagi mengingat pada akhir tahun 2021 ini gamelan secara resmi akan disidangkan di UNESCO untuk menjadi warisan budaya Indonesia.
Perihal penampil dalam konser hari pertamaYogyakarta Gamelan Festival ke-26, Sanggar Anak Seni Nusantara Sekar Jati Laras menggunakan media seperangkat gamelan laras slendro dan pelog dengan memasukkan pola tabuhan langgam, dangdut, reggae hip-hop dan lain sebagainya. Sanggar yang berisi kumpulan anak muda alumni SMPN 4 Pandak Bantul dan pernah menjadi peserta Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) ini mengajak kepada anak-anak supaya mendapatkan sensasi asyik dalam memainkan gamelan.
Dalam karyanya, sanggar yang berdiri sejak 2016 ini menyajikan komposisi karawitan karya baru yang berpijak pada seni tradisional karawitan. Sebagai pemanis, karyanya juga dilengkapi instrumen tambahan perkusif tradisonal, seperti kentongan, kalung (kelonthong) sapi, otok-otok, dan slompret toet-toet.
Selain Sanggar Anak Seni Nusantara Sekar Jati Laras, hari pertama konser gamelan YGF ke-26 juga diisi oleh penampil kedua, yaitu dari Laboratorium Suku Karinding Towѐl. Wadah kreatif dan ruang belajar non-formal ini terbentuk pada tahun 2009 lalu, di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, atau yang sekarang dikenal dengan nama ISBI Bandung.
Laboratorium yang digagas oleh Dody Satya Ekagustdiman (komponis) dan Asep Nata (etnomusikolog) ini mengolah improvisasi kreativitas melalui instrumen Karinding Towѐl (karto). Instrumen ini terbuat dari bambu sebagai ekstrak dari karinding buhun (tradisi) dan dimainkan dengan cara dipetik pada ujung instrumen.
Seiring berjalannya waktu, laboratorium ini menambah kegiatan lainnya di luar kampus seperti riset musik, diskusi musik, dan eksperimen musik. Bahkan kini tidak hanya media karto saja yang digunakan, melainkan juga karinding kartu, pelokarina (pelok song), gamelan batu, dan eksperimen instrumen baru lainnya olahan dari limbah.
Sementara, penampil ketiga, Nadhaskara yang terbentuk pada Desember 2020 di Yogyakarta memadukan dua unsur musik modern dan tradisi seperti kendang Sunda, bonang Jawa, saron Banyuwangi, rebana, dan suling bali Grup ini beranggotakan Anting, Agung, Tredy, Shandro, Adnan, Rian, Rafael, Deden, dan Alan. Kelompok Nadhaskara meyakini perpaduan instrumen tradisi dan modern dapat menghasilkan sebuah warna musik baru yang bisa bersaing di pasar musik global.
Konser gamelan hari pertama ditutup dengan penampilan Lega Swara. Kelompok gamelan ini terdiri dari satu keluarga yang menunggu pandemi reda. Karya-karyanya menghasilkan alunan gamelan kontemporer yang menggugah semangat pendengarnya. []